SORONG- Kuasa hukum PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) Pieter Ell, SH mengakui adanya penghentian kegiatan tambang dan penyitaan alat berat oleh tim Mabes Polri di pulau Kawei, distrik Waigeo Barat kabupaten Raja Ampat.Sebagai pihak yang dirugikan, ia pun menyesalkan hal tersebut, sebab menurutnya yang memutuskan bahwa kegiatan tambang yang dilaksanakan PT KSM di pulau Kawei legal atau ilegal semestinya adalah putusan Pengadilan. Dan upaya hukum untuk membuktikan apakah kegiatan penambangan nikel di pulau Kawei itu legal atau ilegal tengah ditempuh PT KSM melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).Kepada wartawan di Hotel Waigeo Sabtu siang (29/3), Pieter Ell mengatakan, pertemuan di Kantor Menkopolhukam, Jakarta baru-baru ini sebenarnya hanya untuk mencari solusi atas masalah ijin tambang yang tumpang tindah antara yang dikeluarkan bupati Raja Ampat dengan ijin gubernur.Dan menurutnya apa yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut belum final sehingga bukan merupakan keputusan yang mengikat. Dalam hal ini kata Pieter Ell, hasil tersebut semestinya bukan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan upaya hukum lainnya, karena dasar keputusan tersebut dinilai tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Kita hargai proses hukum yang jalan, apapun hasilnya sebaiknya kita ikuti proses hukum. Keputusan akan dikatakan sah dan tidak atau legal dan tidak legal itu urusan Pengadilan. Kalau semua orang bicara begitu boleh- boleh saja secara politis, tapi secara hukum, tidak ada tempat mengatakan suatu SK salah atau tidak. Benar atau salah, legal atau tidak legal dan hanya dapat dibuktikan lewat hukum,”tegas Pieter.Dikatakan, keputusan hukum merupakan keputusan tertinggi yang disebutnya sebagai keputusan panglima. Jika PT ASP (Anugrah Surya Pratama) maupun PT ASI Anugrah Surya Idotama) –yang mengantongi ijin tambang dari bupati Raja Ampat- melayangkan gugatan hukum maka PT KSM juga mengikuti kemauan dari perusahan tersebut. Dengan demikian semua pihak harus menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Ditambahkan Pieter bahwa konflik ijin tambang di pulau Kawei merupakan pengaduan dan ada upaya paksa dari PT ASP. Padahal jika dirugikan seharusnya masyarakat pemilik adat dan tanah setempat yang melayangkan pengaduan bukannya PT ASP seperti yang terjadi saat ini.“Mereka (PT ASP- red) klaim bahwa ijin kuasa pertambangan yang dimilikinya sah, makanya dia lapor tindakan KSM itu ilegal. Yang saya ingin tanyakan sekalipun dia punya ijin misalnya, tapi kalau warga dan pemilik adat serta tanah tidak menyetujui dan tidak mau dia mau melakukan penambangan, maka dia mau lakukan penambangan dimana?,” ujar Pieter.
Lebih lanjut diakuinya, penyitaan dan penghentian kegiatan tambang di pulau Kawei telah mengabaikan proses hukum dan menurutnya hal ini merupakan permainan tingkat tinggi. Dimana sangat jelas ada kepentingan lain yang mengabaikan kepentingan orang banyak. Buntut dari keputusan tersebut, kata Pieter Ell, masyarakat adat di pulau Kawei yang dirugikan tentunya dalam posisi dikorbankan. Yang lebih disesalkan dari keputusan Mabes Polri yang menghentikan kegiatan tambang di pulau Kawei, praktis berdampak bagi para ratusan karyawan PT KSM yang tak lain adalah masyarakat asli Papua yang berada di sekitar lokasi tambang. “Sikap tersebut sangat disesalkan kenapa tidak pertimbangkan kondisi masyarakat, apalagi ini terkait era Otsus dimana masyarakat adat Papua harus diberdayakan. Yang utama perlu ditulis jangan ada dusta diantara kita saja,”tandas Pieter.Karena merasa dirugikan dari kenyataan di lapangan, menurutnya, masyarakat di pulau Kawei termasuk pemilik tanah adat dan pemegak hak ulayat setempat menolak tindakan dari Mabes Polri yang melakukan penyitaan terhadap alat berat milik PT KSM. Hal ini terbukti saat tim Mabes Polri turun ke lokasi perusahaan ternyata ditolak oleh masyarakat. Setelah Mabes Polri menghentikan kegiatan operasi tambang dan menyita alat berat di pulau Kawei, masyarakat setempat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari pekerjaan tersebut tidak menuntut perusahaan (PT KSM) untuk bertanggung jawab. Karena mereka tahu pihak perusahaan juga tidak menginginkan hal itu terjadi.
Pasca adanya penghentian kegiatan tambang dan penyiataan alat berat, PT KSM akan menempuh upaya hukum. “Kalaupun alat berat itu disita belum tentu PT KSM bersalah, karena harus dibuktikan secara administratif maupun pidana. Jadi kita main sesuai proses hukum. Jangan sudah proses hukum bawa permasalahan ke politik dan bawa lagi ke surga atau neraka. Sebagai orang hukum harus tahu dan taat pada keputusan hukum sebagai raja dan tertinggi. Kalau masalah ini sudah dibawa ke PTUN tinggal kita tunggu putusan saja,” tukasnya.Menyinggung bagaimana nasib hasil tambang nikel yang siap diekspor, kata Pieter hingga kini menjadi status quo. Sedangkan police line dari Mabes Polri dikatakan itu tidak benar, yang benar adalah penghentian kegiatan dan penyitaan alat berat. (boy)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP