(Alamku Papua, Edisi Februari 2008)
“PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN MELALUI RENTE EKONOMI DAN DISTRIBUSINYA YANG BERKELANJUTAN”
Disini ada tiga isu yang menjadi perhatian, yaitu pengelolaan hutan lestari, keadilan distribusi manfaat-biaya dan rente ekonomi. Dalam gugus kebijakan kehutanan tidak berada pada tingkat yang sama, dua isu pertama adalah prinsip kondisi yang ingin dicapai dalam pengelolaan hutan, sedang rente ekonomi instrumen kebijakan. Dalam struktur demikian persoalan yang muncul sesungguhnya adalah adanya konflik kebijakan, dan tidak terpenuhinya persyaratan kehausan dan kecukupan dari kebijakan tersebut.
Kajian rente ekonomi sudah banyak dilakukan, demikian juga pembahasannya oleh berbagai lembaga domestik maupun internasional. Dari berbagai kajian itu, pada dasarnya menggunakan rumus yang sama dengan variasi: a) tanpa dimensi waktu, artinya hanya pada satu tahun tertentu, b) perhitungan dengan dimensi waktu, untuk periode waktu tertentu. Adapun hasil perhitungan bervariasi, hal wajar saja apabila perhitungan dilakukan pada waktu berbeda, namun perbedaan secara substansial terjadi pada beberapa hal seperti: penentuan harga, biaya produksi/pengelolaan hutan dan faktor resiko-ketidak pastian dan entrepreneurship.
Kebijakan pemerintah (dephut) mengenai larangan ekspor log dan pengintegrasian pengusahaan hutan dengan industri pengelolaan kayu, dimana kebijakan seperti itu telah melhirkan struktur pasar monopsoni, yang membawa implikasi ketidak adilan harga, dimana harga sumberdaya kayu terlalu rendah.
Disisi lain produksi terdapat biaya yang tidak relevan dari sudut pandang paham normatif, merkipun dari sudut pandang paham positif, biaya ini didalam kegiatan pengelolaan hutan / produksi. Disini juga terjadi ketidakadilan, karena biaya-biaya tidak relevan sesungguhnya pengambilan manfaatnoleh puhak yang tidak berhak untuk mengambilnya. Biaya ini masuk dalam biaya transaksi, sumbangan, biaya keamanan dan lain-lain.
Faktor ketiga, pandangan para pemegang hak pengusahaan hutan bahwa dalam pengelolaan hutan, tingkat resiko sangat tinggi dan entrepreneurship harus dibayar mahal. Padahal pengusahaan hutan alam itu tidak memiliki resiko tinggi, bahkan memiliki turn over (perputaran modal) yang tinggi. Hal ini menjadikan ketidak adilan yang ditimbulkan oleh para pelaku usaha bidang kehutanan.
Dengan harga kayu bulat yang rendah dari biaya (dengan ditambah biaya tidak relevan) cukup tinggi, maka seolah-olah unit usaha kayu bulat dalam situasi jauh dari untung, sehingga beban dari rente ekonomi sudah sangat tinggi, padahal rente ekonomi itu berpindah dari kepada pemegang kekuasan / pembuat kebijakan dan pihak industri. Potensi rente ekonomi sesungguhnya cukup tinggi, tetapi potensi itu berpindah tangan kepada pihak-pihak yang tidak seharusnya memperolehnya. Oleh kerenenya usulan kenaikan tarif iuran-iuran kehutanan tidak pernah mendapat respon, dengan berbagai alasan, yang sesungguhnya berujung pada ketidak adilan tersebut.
Harga sumberdaya rendah memerikan kinerja palsu disektor industri perkayuan, yang sudah cukup mampu bersaing di pasar internasional dan menghasilkan devisa yang tinggi. Padahal efesiensi industri perkayuan rendah, industri hidup dengan menhisap kehidupan kehidupan di sektor primer (pengusahaan hutan), yang akibatnya terjadi pengurusan hasilnya adalah degradasi hutan, dan penurunan kualitas lingkungan.
Faktor-faktor tersebut terkait erat dengan kebijakan pemerintah (dephut). Dengan demikian kebijakan pemerintah telah menumbuhkan ketidak adilan, dimana masyarakat luas menanggung biaya berupa berupa kerusakan sumberdaya hutan dan lingkungan, dan hilangnya rente ekonomi yang seharusnya dapat direalisasikan (biaya opportunitas), efesien yang rendah juga sesungguhnya menimbulkan biaya bagi masyarakat.
Lantas dengan segala persoalan yang ada dalam pengelolaan/ pengusahaan hutan yang telah berlangsung lama dan masih berlangsung sampai saat ini, apakah rente ekonomi dapat dijadikan salah satu instrumen kebijakan ekonomi dalam pengelolaan hutan lestari. Ini nampaknya tidak mungkin karena; Harga tidak mencerminkan kelangkaan sumberdaya, dan Biaya tidak mencerminkan perilaku produksi diminishing return scale, dengan quota produksi pada tingkat produktifitas hutan.
Sekali lagi berbagai kebijakan kehutanan gagal membangun kondisi (syarat keharusan dan kecukupan) bagi berlakunya mekanisme rente ekonomi didalam keputusan produksi. Jadi sudah jelas bagi kita semua, kebijakan kehutanan yang terus dipertahankan sampai saat ini belum dapat mencapai pengelolaan hutan lestari dan keadilan distribusi manfaat biaya. (Buku harian Ambudaya, 2006)
Ditulis oleh: Dudung Darusman
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP