Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua

Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP

IKLAN PROMO : VIRTUOSO ENTERTAIN " NUMBAY BAND ", info selengkapnya di www.ykpmpapua.org

IKLAN PROMO : VIRTUOSO ENTERTAIN " NUMBAY BAND ", info selengkapnya di www.ykpmpapua.org
Info Foto : 1) Virtuoso Entertain bersama Numbay Band saat melakukan penampilan bersama Artis Nasional Titi DJ. 2) Saat penampilan bersama Artis Diva Indonesia, Ruth Sahanaya. 3) Mengiringi artis Papua, Edo Kondologit dan Frans Sisir pada acara "Selamat Tinggal 2012, Selamat Datang 2013" kerjasama dengan Pemda Provinsi Papua di halaman Kantor Gubernur Provinsi Papua, Dok 2 Jayapura. 4) Melakukan perform band dengan Pianis Jazz Indonesia. 5) Personil Numbay Band melakukan penampilan di Taman Imbi, Kota Jayapura. Vitrtuoso Entertain menawarkan produk penyewaan alat musik, audio sound system dan Band Profesional kepada seluruh personal, pengusaha, instansi pemerintah,perusahaan swasta, toko, mal, kalangan akademisi, sekolah, para penggemar musik dan siapa saja yang khususnya berada di Kota Jayapura dan sekitarnya, serta umumnya di Tanah Papua. Vitrtuoso Entertain juga menawarkan bentuk kerjasama seperti mengisi Acara Hari Ulang Tahun baik pribadi maupun instansi, Acara Wisuda, Acara tertentu dari pihak sponsor, Mengiringi Artis dari tingkat Nasional sampai Lokal, Acara Kampanye dan Pilkada, serta Acara-Acara lainnya yang membutuhkan penampilan live, berbeda, profesional, tidak membosankan dan tentunya.... pasti hasilnya memuaskan........ INFO SELENGKAPNYA DI www.ykpmpapua.org

13 August 2010

Papua : Pengetahuan Dan Kearifan Tradisional ­ Masyarakat Adat

(Tabloid Jubi, 12-08-2010)
Link : http://tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/advertorial/8605-pengetahuan-dan-kearifan-tradisional-s-masyarakat-adat

JUBI --- Kesadaran mencin­tai lingkungan hidup timbul dari keseharian setiap suku-suku bangsa di dunia ini termasuk masyarakat asli di Tanah Papua. Pandangan kosmis masyarakat tradisional menurut antropolog Dr JR Mansoben dari FISIP Uncen adalah ham­pir menjadi patokan dari sebagian besar kelompok kelompok etnik di Tanah Papua. Mereka ini bisa tergolong ke dalam masyarakat yang mela­kukan pelestarian ling­kung­­an hidup sesuai dengan penge­tahuan dan kearifan local masing-masing suku. Masyarakat Suku Amungme misalnya memasukan symbol-simbol lingkungan hidup dengan tubuh seorang manusia.

“Tanah bagi orang Amungme adalah ibu atau mama, karena itu tak heran kalau mereka memiliki hubungan yang begitu kuat dengan tanah dan alam. Alam sekitarnya dianggap sebagai tubuh seorang mama yang memberi dan menjamin hidup mereka. Begitu pula dengan masyarakat Asmat menganggap pohon sebagai penjelmaan dari jati diri manusia.

Pandangan ini lanjut Mansoben telah menyebabkan terbentuknya norma-norma dan nilai-nilai tertentu yang berfungsi sebagai pengendali social bagi masya­rakat adat untuk berintegrasi dengan ekosistem. Norma-norma itu mengatur dan menetapkan aturan-aturan yang baik untuk dijalankan maupun larangan-larangan termasuk pantangan yang harus dipatuhi. Sistem pengetahuan konservasi tradisional itu adalah dengan melarang masyarakat untuk mengambil hasil hutan atau hasil laut pada suatu tempat tertentu yang telah disepakati selama beberapa waktu.Larangan-larangan ini dimaksudkan agar memberikan peluang bagi jenis-jenis biota laut untuk berkembang tanpa diganggu selama jangka waktu tertentu. Hal ini penting agar ikan dan biota laut yang akan dipanen bisa memberikan hasil yang banyak. Sistem pelarangan ini banyak dikenal oleh suku-suku di Tanah Papua. Misalnya saja Suku Tepera di Distrik Depapre Kabupaten Jayapura mengenal sistem pelarangan ini dalam bahasa local disebut Takayeti atau Tiatiki.

Sedangkan dalam masyarakat Biak Numfor dan Kabupaten Raja Ampat meng­enal sistem korservasi lokal dengan nama Sasisen. Orang-orang Maya di Pulau Salawati Kabupaten Raja Ampat menyebutnya Rajaha dan Pulau Misol menamakan sistem konservasi tradisional dengan nama samsom. Arti samsom dalam bahasa Matbat(Pulau Misol) adalah larangan.

Bagi masyarakat Suku Tepera Distrik Depapre Kabupaten Jayapura, upacara Tiatiki tentang pelarangan selama beberapa bulan bagi warga kampung mencari ikan pada lokasi tertentu. Ini artinya masyarakat setempat telah menyadari pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan hidup.Dr Wiklif Yarisetou dalam bukunya berjudul Tiatiki Konsep dan Praktek menyebut­kan pembagian zonasi-zonasi menurut klen di Kampung Senamai; Tablanusu; Tablasupa dan Kampung Maruway antara lain, Akadame yaitu bagian laut yang diukur mulai dari batas surut air laut sampai air pasang di kedalaman 12 meter. Ciri khas yang menonjol di sini saat air laut surut, wilayah tersebut dinamakan akademi, kering (meti). Saat itu warga mempunyai kesempatan untuk mencari ikan di padang lamun, termasuk mencari siput dan kerang-kerangan.

Kia-kia merupakan zonasi bagian laut yang memiliki kedalaman dari 12 sampai dengan 25 meter. Dasar laut masih bisa dilihat atau tampak oleh mata. Bila air laut surut lokasi ini tak sampai kering atau meti.Nau koti, yaitu bagian laut yang mempunyai kedalaman 25 meter sampai 100 meter. Bagian dasar laut tidak kelihatan dan warna air sudah kebiru-biruan.Beta nau, bagian laut yang kedalaman lautnya 100 meter sampai ke zona laut lepas atau laut bebas di Samudera Pasifik.Dari gambaran zonasi-zonasi tersebut, maka menurut Dr Wiklif Yarisetou wilayah-wilayah laut akadame; kia-kia dan nau koti termasuk dalam areal kekua­saan tanah-tanah adat. Jika ada warga lain yang menangkap ikan di lokasi tersebut dianggap melanggar adat. Wilayah laut inilah yang menjadi pusat kegiatan tiaitiki karena lokasi akadame dan kia-kia meru­pakan tempat pemijahan; pemeliharaan dan pertumbuhan ikan-ikan. Lokasi ini sangat aman dari arus dan gelombang laut sehingga ikan-ikan dan biota lainnya dapat berkembang biak.

Selain pengetahuan local tentang tiaitiki masyarakat Suku Dani di pedalaman tanah Papua juga telah mengenal prinsip keseimbangan lingkungan sejak dulu. Mereka membuat parit-parit mengelilingi bedeng-bedeng agar terhindar dari pengrusakan babi. Parit-parit juga sangat berguna karena mengeluarkan airbekas tanah dari akar-akar petatas (Ipomea batatas/ipere) Fungsi parit parit memberikan kesuburan bagi bedeng-bedeng petatas (ipere) dan menya­lurkan air kalau musim kema­rau tiba. Atau sistem pengairan ini sangat berguna bagi kesuburan tanah dan juga mencegah terjadinya banjir.

Mestinya kelaparan dan bencana tidak akan terjadi,kalau masyarakat setempat masih mematuhi aturan adat yang berlaku dari generasi ke generasi. Sayang­nya pengetahuan lokal atau indigenious knowledge tentang lingkungan hidup seringkali dia­baikan, sehingga tak heran kalau petaka selalu menimpa mereka.Berbeda dengan masyarakat adat di PNG yang telah memadukan aturan kon­servasi tradisional dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Papua New Guinea. Masyarakat lokal hanya mengusulkan kepada pemerintah PNG agar lokasi di kampung mereka menjadi wilayah yang dilarang bagi masyarakat adat setempat untuk menebang atau berburu. Di negara Papua New Guinea (PNG) disebut sebagai areal konservasi atau Wildlife Management Area. Misalnya warga Kampung Kamiali di Lae menyepakati Wildlife Management Area di kampung mereka sehingga banyak sekali telur-telur burung Maleo atau ayam hutan yang berkembang biak. Pada waktu tertentu masya­rakat adat setempat bisa menangkap atau mengkonsumsi telur burung ayam hutan. Karena itu kesadaran untuk menjaga tradisi pelestarian lingkungan hidup sangat tergantung pada masyarakat adat sendiri. (Jubi/Dominggus Mampioper)

11 August 2010

Timika : Penertiban Camp di Freeport Mendapat Perlawanan

(www.papuapos.com, 10-08-2010)
TIMIKA [PAPOS] – Rencana PT. Freeport Indonesia untuk menertibkan camp-camp milik warga di daerah kali Iwaka, Distik Kuala Kencana mendapat perlawanan dari masyarakat.

Daerah yang hampir seluruhnya hutan ini, merupakan kawasan yang dijaga oleh Freeport untuk melestarikan hutan dan ekosistim di dalamnya, karena disinyalir sebagian dari warga telah melakukan penebangan liar untuk kepentingan ekonomi dan pribadi.

Namun, kawasan ini diklaim oleh masyarakat suku moni sebagai tanah adat yang mencakup hingga areal Kuala Kencana seluar 17 Hektar lebih, sehingga mereka menuntut agar Freeport mengembalikan tanah tersebut atau ganti rugi areal yang telah digunakan.

Sementara PT. Freeport Indonesia menggunakan tanah tersebut berdasarkan sertifikat tanah yang dikeluarkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Fak-fak tahun 1994, Sertifikat Hak Guna Bangunan yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional Timika tahun 2002 dan Pelepasan Hak atas Tanah Adat dari beberapa kepala Suku Kamoro tahun 1995.

Disisi lain masyarakat suku Moni menilai bahwa tanah tersebut adalah hak ulayat mereka yang beranggapan selama ini tidak pernah diserahkan kepada PT Freeport.

“Untuk menyelesaikan masalah ini, dewan akan mengirimkan surat kepada PT.Freeport untuk meminta Freeport dan pihak keamanan menjelaskan kasus ini, sambil menunggu kesiapan waktu untuk bicara antara Freeport, warga Moni dan Pemda,” ujar Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Mimika, Karel Gwijangge kepada Papua Pos diruang kerjanya, Jumat [6/8].

Menurut, Karel Gwijangge, upaya PT. Freeport Indonesia mengosongkan wilayah sekitar Kali Iwaka yang berbatasan dengan Perumahan Karyawan Freeport dan Pusat Perkantoran Kuala Kencana dinilai tidak beralasan karena wilayah ini bukan kawasan Eksplorasi. Sehingga perluu dibicarakan secara baik. [cr-56]

Timika : Pemukiman Liar Pemicu Banjir Kota Timika

(www.papuapos.com, 10-08-2010)
TIMIKA (Papos) – Drainase yang buruk dan penyempitan daerah serapan air akibat pembangunan pemukiman warga disinyalir menjadi pemicu terjadinya banjir di Kota Timika dalam 2 bulan terakhir. Belum lagi, kebiasaan warga yang masih saja membuang sampah di drainase dan kali sehingga aliran air tidak berjalan dengan lancar.

Demikian dikatakan Kepala Bidang Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Mimika Ir. Robert Mayaut kepada Papua Pos, di ruang kerjanya, Jumat [6/8].

Kata dia, curah hujan di Kabupaten Mimika ini sangat tinggi, sehingga sangat berpotensi terjadi banjir pada musim hujan akibat tersumbatnya aliran air karena sampah dan penyempitan daerah resapan air karena pembangunan pemukiman penduduk.

Menurutnya, harus ada perencanaan yang matang terkait dengan aliran air di drainase dan kali, sehingga tidak menimbulkan bencana banjir yang lebih besar di masa yang akan datang.“Saat ini beberapa kali yang melintas dalam kota tidak berfungsi dengan baik, selain mengalami penyempitan akibat timbunan, kali juga dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga,” ujarnya.

Kata Robert, Master Plan drainase dan pembuangan air dari kali menuju laut dalam kota Timika saat ini belum ada, sehingga pembangunan drainase terkadang sia-sia karena air yang melalui drainase tidak bejalan lancar menuju penampungan, seperti kali dan selanjutnya mengalir ke laut.“Drainase itu sangat penting untuk manampung air terus dibawa ke kali, agr tidak terjadi kubangan-kubangan air sehingga menyebabkan banjir,” jelas Robert.

Dia berharap masyarakat tidak lagi membuang sampah tidak di drainase dan kali karena sangat berpotensi terjadi banjir apabila musim hujan tiba seperti saat-saat ini.“Masyarakat harus berperan serta dalam pembangunan, seperti sadar akan membuang sampah pada tempat, merelakan sebagain dari tanahnya untuk pembangunan drainase, ini semua dilakukan untuk kepentingan masyarakat juga,” tukasnya.

Ditemui secara terpisah ketika memberikan seminar di Timika, Kepala Seksi Observasi Stasiun Geo Fisika Kelas I Angkasapura, Jayapura Cahyo Nugroho mengatakan, bencana yang sangat rentang terjadi di Kabupaten Mimika adalah bencana banjir dan tanah longsor

Hal ini diakibatkan Topografi wilayah Kabupaten Mimika yang rata dan di daerah utara memiliki tebing-tebing yang curam.“Dengan curah hujan yang mencapai 2.500 - 5.000 mili meter per tahun atau berkisar antara 200-400 mm per bulan, wilayah Kabupaten Mimika sangat rentang dengan bencana banjir, apalagi pada setiap musim hujan seperti saat ini,” terangnya.

Sementara itu untuk Bencana Gempa Bumi kata Cahyo, secara umum Kabupaten Mimika tidak memiliki potensi Gempa karena tidak dilalui oleh patahan besar. [cr-56]

Wamena : Hutan Asmat Belum Didata

(www.papuapos.com, 10-08-2010)
ASMAT [PAPOS] - Hutan Kabupaten Asmat hingga saat ini belum ada data base luasan secara permanen baik hutan lindung, hutan dikonversi, hutan terbatas dan hutan areal penggguna lain (APL) dan perkebunan.

Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Asmat, Elias Bapaimu yang ditemui Papua Pos di ruang kerjanya, Jumat [6/8] lalu mengungkapkan hingga saat ini belum adanya data base luasan hutan Kabupaten Asmat. Namus dia mengatakan, secara bertahap akan dilakukan pendataan mulai dari hutan lindung sampai dengan taman Lorenz hingga perbatasan Kabupaten Nduga.

“Memang saat ini kita belum mengetahui secara pasti hutan Kabupaten Asmat secara pasti kita hanya melihat itu dari wilayah masing-masing dimana yang termasuk hutan lindung, hutan konversi,” katanya.

Dikatakan, potensi hutan yang menghasilkan Kayu besi atau kayu merbau yang hanya ada di Kabupaten Asmat hingga saat ini diperkirakan tinggal 40 persen.

Padahal kayu Membrau yang dominan digunakan di Asmat baik untuk pembangunan jalan, perumahan dan digunakan para pengukir sebagai bahan ukiran.Dalam memantau peredaran hutan para pengusaha dibatasi dengan setiap pengambilan hasil hutan harus dilaporkan ke Dinas Kehutanan.[cr-57]

06 August 2010

Nasional : Wow, Ada Mawar Hijau di Kebun Raya Bali

(www.kompas.com, 05-08-2010)
KOMPAS.com- Mawar merah sering menjadi lambang asmara. Nah, bagaimana kalau bunga mawar berwarna hijau? Lambang cinta lingkungan mungkin kali ya?
Nah, soal mawar hijau yang mungkin belum banyak diketahui itu kini bisa dijumpai di Kebun Raya Bali, salah satu obyek wisata di kawasan Bedugul, Bali.

Sosok tanamannya sendiri tak jauh berbeda dengan mawar pada umumnya, dengan batang bercabang berduri serta daun menyirip.

Uniknya, warna mahkota bunganya seluruhnya hijau. Yang mungkin agak berbeda, ukuran mahkota bunganya lebih kecil daripada mawar pada umumnya.
Mawar hijau adalah salah satu bonus keunikan yang bisa dinikmati pengunjung Kebun Raya Bali. Kenapa bonus? Karena kehadirannya tak terlalu menonjol. Koleksi mawar hijau tersebut bisa ditemui di area koleksi mawar yang tidak jauh dari pintu masuk Kebun Raya Bali.

"Mawar hijau adalah salah satu keunikan Kebun Raya Bali. Bisa dilihat setiap saat karena bunganya mekar tanpa tergantung musim," ujar Dr Bayu Adjie, Kepala Riset Kebun Raya Bali, di sela-sela workshop penulisan artikel lingkungan yang digelar CiFOR, 17-23 Juli 2010. Ia mengatakan, sejauh ini tanaman tersebut baru dikoleksi Kebun Raya Bali dan Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat. Koleksi yang ada di Kebun Raya Bali merupakan sumbangan seorang kepala desa di Candikuning, Baturiti, Tabanan, daerah dekat Kebun Raya Bali. Koleksi pertama masuk tahun 1976. Konon, asal tanaman tersebut dari kolektor tanaman bunga di Malang, namun sampai sekarang belum diketahui apakah tanaman tersebut asli dari sana atau didatangkan dari daerah lain.

"Diperkirakan, mawar hijau hasil silangan dua jenis spesies mawar tapi secara alami," kata Putu Suendra, Koordinator Jasinfo Kebun Raya Bali. Pihaknya saat ini mencoba membudidayakannya dengan teknik stek dan menghasilkan sekitar 100 batang tanaman sejenis. Karena jumlahnya yang masih sedikit, belum ada rencana menjual bibitnya atau mendistribusikan ke luar Kebun Raya Bali. Namun, ia berjanji jika hasil budidaya sukses akan segera menyabarkannya ke masyarakat sebagai bagian upaya konservasi ex-situ. Jika itu terjadi, mungkin mawar hijau akan mudah dijumpai di pasar sepeti halnya mawar batik yang kelopak bunganya berbintik-bintik mirip motif batik.