(Republika, 01 Maret 2006 )
Kunci kasus Freeport Indonesia saat ini sebenarnya terang-benderang. Kita tinggal melihat kembali peristiwa di sekitar penandatanganan Kontrak Karya I pada 1967. Kita lihat buku Power in Motion. Karya Jeffrey Winters ini mengungkap naskah yang masa rahasianya baru saja kedaluwarsa. Kekayaan Indonesia, menurut naskah tersebut, dibagi-bagi ke berbagai perusahaan dunia dalam sebuah pertemuan di Jenewa pada 1967.
Tim ekonomi Indonesia yang mendapat mendapat julukan Mafia Berkeley hadir pada petemuan itu. Mereka menerima perlakuan itu bahkan seraya berpromosi: Indonesia punya buruh murah, cadangan sumber daya alam, dan pasar yang besar. Pada tahun itulah, Henry Kissinger yang mewakili Freeport mendapatkan Ertsberg, kawasan kaya mineral di Papua.
Melihat situasi peralihan politik pada tahun tersebut, kita bisa meraba adanya deal besar dalam pertemuan Jenewa tersebut. Ini jelas bukan sekadar masalah bisnis, tapi juga kekuasaan. Bukan sekadar konsesi tambang, tapi juga konsesi politik. Celakanya, yang terciptanya kemudian adalah hubungan antara kekuatan ''ratu dunia'' dan ''hamba sahaya''. Kita bisa semakin merasakannya setelah mengamati bahwa pemerintah Indonesia--sampai kini--selalu tak punya wibawa setiap kali berhadapan dengan Freeport.
Seorang menteri lingkungan kita pernah mengundang bos Freeport Indonesia ke kantornya. Sang bos datang dengan sangat terlambat, namun tak menunjukkan penyesalan. Ia malah duduk dengan arogan di hadapan sang menteri, seraya bersilang kaki. Situasi tak berubah pada 1991, saat Kontrak Karya II ditandatangani. Para pejabat kita hanya berputar kata-kata saat bicara soal Freeport. Juga, saat ini, ketika banyak pihak menuntut peninjauan ulang kontrak.
Pemerintah tampaknya lebih terfokus pada upaya mendapatkan sedikit tambahan penghasilan dari kenaikan harga emas. Pembicaraan tentang kontrak yang berat sebelah dihindari. Kita sulit memahami bahwa untuk hal-hal sepele seperti pasokan makanan saja kita tak punya martabat di hadapan Freeport. Pasokan tidak datang dari negeri ini, melainkan dari Australia dan Selandia Baru. Kontraknya seperti itu.
Belum lagi bicara soal pembagian keuntungan. Pertama, kita sulit mengaudit nilai kekayaan yang dikeruk dari tanah Papua. Lebih dari 95 persen konsentrat diolah di luar negeri. Kita tak tahu apakah yang mereka peroleh adalah emas atau loyang. Kedua, pendapatan yang terungkap pun--termasuk dalam catatan Bursa Saham New York (NYSE)--ternyata menunjukkan ketimpangan besar. Total pendapatan negara sejak Kontrak Karya II, 1991, senilai 1,3 miliar dolar AS.
Itu pun sudah termasuk royalti, retribusi, iuran, dan pendapatan dari pajak seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Sementara, keuntungan bersih untuk Freeport McMoran mencapai 800 juta dolar setiap tahun. Itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk mencurahkan empati kita pada saudara-saudara dari Papua. Mereka tetap saja hidup tertinggal padahal gunung emas mereka dibongkar dan kelestarian alam mereka hancur. Mereka hanya bisa marah dengan berdemo dan memblokir jalan, namun sulit berharap lebih pada pemerintah. Mereka malah ditangkapi.
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP