(Suara Pembaruan, 23 Maret 2006 )
Panitia Kerja (Panja) Komisi VII DPR meminta pemerintah dan PT Freeport Indonesia membahas kontrak karya yang ditandatangani pada 1991. Kontrak karya itu dinilai menjadi sumber permasalahan saat ini. "Banyak yang harus dibahas ulang antara Freeport dan pemerintah, seperti audit lingkungan, kandungan konsentrat, dan pembangunan smelter (peleburan emas dan tembaga) di Indonesia. Mengenai lingkungan saja kami sudah memiliki banyak data.
Hal yang mudah dilihat adalah berubahnya sungai yang dijadikan tempat mengalirkan tailing. Mengapa masyarakat tidak bisa menggunakan sungai itu. Hal-hal seperti ini harus dibahas," kata Ketua Panja Komisi VII DPR untuk permasalahan PT FI, Rafiudin Hamaru, ketika dihubungi Pembaruan, Kamis (23/3) pagi. Dia berpendapat, untuk menyelesaikan gejolak, pembahasan kontrak karya harus segera dilakukan dan harus transparan.
"Kami belum merekomendasikan untuk mengkaji ulang kontrak karya itu. Kami masih memberikan kesempatan kepada pemerintah dan perusahaan itu untuk menyelesaikannya secara baik-baik. Kami akan memanggil sejumlah pihak yang pernah memiliki kompetensi dalam permasalahan ini. Mungkin akan kami lakukan setelah masa reses berakhir nanti," tambahnya.
Ketidakadilan
Sementara itu, Direktur Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Indro Sugiantoro, menilai pemerintah melakukan ketidakadilan lingkungan dalam penyelesaian konflik industri pertambangan. Aksi masyarakat sekitar lokasi tambang terhadap sejumlah perusahaan multinasional dinilai menjadi bukti ketidakadilan dalam pengelolaan lingkungan.
Dikemukakan, prinsip keadilan lingkungan harus dipandang dalam konteks sosial yang mengedepankan konservasi dan pemerataan sumber daya alam. "Pemerintah seharusnya meninjau ulang kebijakan di bidang pertambangan berdasarkan prinsip akses keadilan, akses partisipasi, dan akses informasi. Semua indikator tentang prinsip itu telah dituangkan dalam sejumlah konvensi internasional dan UUD 45. Jadi pengelolaan lingkungan dalam industri pertambangan seharusnya mengacu pada hal itu," jelasnya.
Menurut Indro, ada masalah serius dalam pengelolaan lingkungan industri pertambangan sehingga menimbulkan konflik. Tapi, kebijakan pemerintah untuk menanganinya tidak pernah menyentuh hal yang mendasar. Akibatnya, masalah itu tidak pernah terselesaikan. Seperti dalam penanganan kasus PT Freeport Indonesia yang disebabkan oleh terbitnya kontrak karya antara pemerintah dan perusahaan asal Amerika itu pada 1967.
"Sejak saat itu kontrak terus diperpanjang dan tidak pernah diperbarui, padahal kondisinya terus berubah," ujarnya. Indro berpendapat, dalam berurusan dengan perusahaan multinasional pemerintah dinilai tidak bertindak tegas. "Ada indikasi pemerintah takut akan arbitrase, seakan-akan arbitrase adalah ancaman yang sangat serius terhadap kehidupan bangsa. Padahal, dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah disebutkan bahwa kelalaian dan kesengajaan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup adalah tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan di dalam maupun di luar pengadilan," ujarnya.
Dikatakan, masalah lainnya, ketiadaan informasi yang tepat untuk masyarakat tentang lingkungan tempat tinggalnya. "Seringkali informasi yang dibutuhkan masyarakat justru menjadi rahasia. Padahal mendapatkan informasi itu adalah hak warga negara," tambahnya.
Longsor di Freeport
Sementara itu, dua orang tewas dan empat luka-luka akibat tanah longsor di fasilitas pendukung dekat kawasan tambang terbuka Grasberg yang dikelola PT Freeport Indonesia (FI), Kamis (23/3) pukul 01.00 WIT. Longsor di kawasan penambangan tembaga dan emas itu menimbun sebagian ruang makan karyawan subkontraktor PT Freeport.
"Atas kejadian itu PT FI menyampaikan turut berdukacita,'' ujar Senior Manager Corporate Communications PT Freeport Indonesia, Siddharta Moersjid, kepada Pembaruan di Jakarta, Kamis pagi. Menurut Siddharta Moersjid, kejadian itu tidak mengganggu kegiatan penambangan di Grasberg maupun pabrik pengolahan tambang. Semua kegiatan tetap secara normal.
''Saat ini tim investigasi dari pemerintah dan perusahaan sedang bekerja mencari penyebab kejadian tersebut," ujarnya. Menjawab pertanyaan mengenai kerugian, Siddharda menjelaskan, pihaknya belum bisa bicara mengenai kerugian material. "Kami mengutamakan keselamatan karyawan," ujarnya. (K-11/W-8)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP