( Sinar Harapan, 20 Maret 2006 )
Oleh: Sigit Wibowo
Desakan dari berbagai elemen masyarakat agar pemerintah segera meninjau ulang kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia makin menguat. Sementara permintaan supaya PT Freeport ditutup dinilai wajar selama hasil penambangan di bumi Papua tersebut hanya dinikmati segelintir orang, sedang rakyat setempat menderita.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat menyesalkan keputusan pemerintah yang tidak tepat dalam penanganan PT Freeport Indonesia. Keputusan untuk tetap menjamin beroperasinya Freeport merupakan kegagalan pemerintah dalam menangkap pesan masyarakat yang selama dirugikan oleh perusahaan multinasional asal Amerika Serikat tersebut.
Demikian pendapat anggota Komisi VII DPR, Alvien Lie dan Ekonom Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswer di Jakarta, Senin (20/3). "Jalan terbaik bagi pemerintah adalah menghentikan sementara operasional Freeport dan melakukan negosiasi ulang kontrak karya," kata Alvien. Namun yang dilakukan pemerintah justru menunjukkan arogansi kekuasaan dan tidak mampu menyerap aspirasi yang berkembang.
Ia menambahkan masalah di Freeport merupakan fenomena gunung es pertambangan di Indonesia yang siap meledak sewaktu-waktu. Selama ini keberadaan perusahaan pertambangan tidak memberikan kesejahteraan pada masyarakat sekitar dan justru menguntungkan sejumlah elite penguasa. "Kuncinya harus ada transparansi berapa hasil yang bisa diterima masyarakat, kapan diberikan dan siapa yang menerima," ujarnya.
Alvien mendesak pemerintah melakukan evaluasi setiap 5 tahun sekali terhadap kontrak karya yang diberikan. "Perlu direvisi setiap 5 tahun sekali mengenai pembayaran royalti, bagian masyarakat, dana untuk community development dan lainnya," kata Alvien.
Tidak Peka
Sementara itu Revrisond mengatakan langkah pemerintah yang tidak peka terhadap tuntutan keadilan masyarakat akan bisa memunculkan ketidakstabilan politik dan ekonomi. "Pemerintah masih mencoba mengulur-ulur waktu dan mengukur respon masyarakat dan langkah ini bisa menjadi bumerang," paparnya. Masalah Freeport bisa memberikan pemicu bara ketidakpuasan di Blok Cepu dan Newmont dan kekacauan di masyarakat.
Di bagian lain, Ketua DPD, Ginanjar Kartasasmita, meminta kepada pemerintah untuk meninjau ulang kontrak karya dengan PT Freeport. Kotrak karya yang diperpanjang kesepakatannya pada tahun 1991 itu dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. "Pemerintah harus menegosiasi ulang kontrak dengan PT Freeport," tegas Ginanjar di Bandung, Minggu (19/3). Perlunya negosiasi ulang mengingat kontrak yang telah berumur sekitar 15 tahun ini disepakati sebelum diberlakukan otonomi khusus di Papua.
Menurut Ginanjar dengan adanya otonomi khusus Papua seharusnya kontrak pengelolaan tambang emas di Timika yang dilakukan oleh PT Freeport disesuaikan dengan ketentuan otonomi khusus. Harus ada bagi hasil yang menguntungkan bagi masyarakat Papua. Selama ini yang memperoleh bagi hasil hanya masyarakat di sekitar tambang emas semata. Dampaknya, terjadi ketidakadilan yang dapat memicu kecemburuan sosial dari masyarakat Papua yang berada jauh dari tambang emas.
Ginanjar mengatakan sudah seharusnya suku-suku lain yang tinggal jauh dari tambang emas PT Freeport diperhatikan. Mereka berhak memperoleh bagian dari eksplorasi tambang yang dilakukan oleh PT Freeport. Hal lainnya yang perlu ditinjau ulang melalui kontrak yang diperbaharui adalah terkait masalah lingkungan dan community development. Negosiasi ulang dengan PT Freeport perlu dilakukan mengingat tuntutan dari masyarakat yang minta agar PT Freeport ditutup semakin gencar.
Bukan Soal Sepele
Persoalan tambang emas PT Freeport bukan lagi persoalan yang sepele. Menurut Ginanjar DPD tengah membahas kasus PT Freeport ini di Panitia Adhoc II. Hasil kerja Panitia Adhoc II nantinya akan diteruskan sebagai rekomendasi sikap DPD kepada pemerintah. Dari Padang, Mantan Ketua MPR Amien Rais kembali mengatakan, wajar kalau masyarakat Papua menuntut ditutupnya PT Freeport. Sebab selama ini, perusahaan tambang emas itu, tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat di sana sejak 30 tahun mengeksplorasi tanah mereka.
Untuk itu ia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersikap tegas dan bijak dalam menyelesaikan persoalan PT Freeport, agar korban tidak bertambah lagi. Ia menyarankan pemerintah pusat, PT Freeport, pemerintah setempat, tokoh-tokoh masyarakat Papua, dan DPR duduk semeja menyelesaikannya secara menyeluruh. Amien mengatakan, dari tahun ke tahun, eksplorasi yang dilakukan PT Freeport terhadap kekayaan alam negara Indonesia semakin gila-gilaan. Di samping merusak lingkungan, diduga juga melakukan pelanggaran perpajakan.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu juga menyesalkan pernyataaan pemerintah yang tidak akan menutup PT Freeport, seolah-olah pemerintah membela kepentingan perusahaan asing ketimbang kepentingan bangsa sendiri. Amien menginformasikan, Panja Freeport dari Komisi VII DPR minggu pertama April, beserta Ketua DPR Agung Laksono, wartawan dalam dan luar negeri akan ke Freeport untuk melakukan audit total meliputi audit lingkungan, perpajakan dan penjarahan kekayaan Indonesia. "Mudah-mudahan, nanti ketahuan bolong-bolongnya dimana," katanya lagi.
Ekonomi dan Budaya
Hal senada juga disampaikan, Gubernur Lemhanas Muladi. "Pemerintah Indonesia diminta untuk meninjau ulang kontrak karya dengan PT Freeport. Namun peninjauan ulang ini jangan sampai berujung pada penutupan tambang emas tersebut," kata Muladi di Denpasar, akhir pekan lalu. Menurut Muladi, peninjauan kontak karya dengan PT Freeport perlu dilakukan untuk mengevaluasi kerja sama yang telah berjalan selama ini.
Peninjauan ulang kontrak lebih dititik beratkan pada penyelesaian kasus antara PT Freeport dengan masyarakat Papua. Dalam penyelesaian permasalahan, kata Muladi, PT Freeport harus memperhatikan kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat Papua. "Masalah Papua lebih sensitif dari Aceh, sumber daya alam banyak kepentingan asing banyak. Mungkin praktik ketidakadilan dimasa lalu. Bagaimana supaya kontark karya dengan PT Freeport bisa menguntungkan rakyat juga sampai rakyat dan pejabatnya juga lebih bijak. Penyelesaian di sana tidak saja ekonomi tetapi juga budaya, " tegas Muladi. (didit ernanto/eriandi/cinta malem ginting)