(Bisnis Indonesia, 15 Maret 2006)
Konflik antara masyarakat dan PT Freeport Indonesia terjadi lagi. Dengan ditutupnya perusahaan tambang terbesar di dunia tersebut, pemerintah diperkirakan mengalami kerugian US$3 juta setiap hari selama operasi perusahaan pertambangan itu berhenti.
Konflik di Freeport bukan merupakan peristiwa pertama kali. Menurut catatan, pada Maret 1996 telah terjadi kerusuhan ketika sebuah kendaraan perusahaan ini menabrak penduduk kampung, yang memicu ribuan penduduk di sekitar Freeport menyerang perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) ini.
Kerusuhan tersebut menyebabkan kerusakan harta senilai US$15 juta, penutupan perusahaan, dan pemerintah harus mengirim lebih dari 1.000 tentara untuk mengamankan lokasi mega tambang ini. Sejalan dengan kebebasan mengemukakan pendapat dan sebagai negara yang menempatkan diri sebagai negara demokratis, tentu kejadian di Papua ini adalah persoalan yang harus segera dituntaskan.
Pengelolaan sumber daya alam juga harus mengalami perubahan dan demokratisasi. Kasus Freeport merupakan sebuah batu ujian, tanggungjawab sosial dan lingkungan sebuah perusahaan besar. Konsekuensi negara yang membebaskan rakyat untuk mendapatkan informasi (kebebasan pers), telah dirasakan oleh para mahasiswa Papua yang melihat kejadian di daerah mereka melalui tayangan sebuah TV swasta di Jakarta.
Dan mereka pun langsung protes datang, 'merangsek' kantor Freeport di Jakarta sehingga menimbulkan kerusakan. Freeport telah menambang di Papua lebih dari 30 tahun. Pertambangan ini merupakan salah satu pertambangan terbesar di dunia dengan penghasilan emas 87,5 ton pada 1998. Perusahaan tambang membawa peradaban baru di kawasan ini. Fasilitas dibangun mirip di negara maju, teknologi canggih, restoran, ruang perkantoran ber-AC dan nyaman, rumah sakit, dan sekolah.
'Zaman batu'
Tetapi masih kerap kita menyaksikan pemandangan ironi, masyarakat hidup di 'zaman batu' di sekitar kompleks pertambangan Freeport. Ironi inilah yang pernah ditanyakan oleh seorang anggota parlemen Papua Nugini pada tahun 70-an kepada Jared Diamond-pemenang Pulitzer-dalam prolog bukunya berjudul Guns, Germ and Steel (1999), perihal bangsa yang hidup dengan standar dan gaya hidup orang kulit putih Eropa dan Amerika yang tinggi.
Prolog buku tersebut menyatakan "Mengapa anda, bangsa kulit putih menciptakan banyak 'muatan' dan membawanya ke Papua Nugini, sedangkan kami bangsa yang berkulit hitam mempunyai 'muatan' sedikit saja yang kami punya?" Orang Papua, untuk membahasakan barang-barang yang mereka miliki, diistilahkannya dengan 'muatan'.
Diamond menjawab pertanyaan ini dengan sebuah essai menarik setebal 495 halaman, soal nestapa kemanusiaan yang berkisah tentang sejarah kemanusiaan bahwa sejarah diikuti oleh sebuah kondisi yang berbeda untuk setiap bangsa akibat kondisi lingkungannya yang berbeda bahwa perbedaan tersebut, sesungguhnya bukanlah disebabkan suatu keadaan fisik biologi yang berbeda.
Konflik terakhir ini berawal dari penambang kecil yang berusaha mencari emas (dengan kapasitas 'muatan' mereka yang kecil) dari limbah tailing yang telah dibuang oleh Freeport. Penambangan tradisional walaupun dalam skala kecil semakin marak dan menjanjikan karena tentu saja akan mampu 'sekadar' melanjutkan hidup bagi masyarakat yang nestapa di sekitar Freeport.
Menurut perhitungan Freeport, sejak 1992, bersama pemerintah Indonesia, mereka telah mengeluarkan dana lebih dari US$153 juta untuk membangun rumah sakit, sekolah, fasilitas kesehatan masyarakat, dan inisiatif pendidikan. Akan tetapi, kerusuhan ini membawa anggapan bahwa kejadian ini diakibatkan adanya rasa frustrasi masyarakat setempat yang tidak merasakan keuntungan yang cukup dengan adanya pertambangan ini.
Dengan kata lain ada 'kecemburuan sosial' akibat dari kesenjangan yang besar antara pemilik 'muatan' yang banyak (Freeport) dan yang hanya bisa hidup subsistence dan cukup puas dengan muatan kecil.
Peluang masyarakat
Jadi siapa yang seharusnya disalahkan dalam menangani program yang terkait dengan persoalan sosial ini? Ketika sebuah perusahaan besar datang di suatu daerah, maka gambaran dan harapan dari penduduk setempat adalah: proyek ini membuka sebuah peluang dan mereka akan mendapatkan keuntungan yang selama ini mereka tidak pernah miliki.
Karena itu, biasanya masyarakat akan mempertanyakan, apa keuntungan yang mereka peroleh dari keberadaan perusahaan itu. Misalnya, pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur-yang pada dasarnya merupakan tugas pemerintah dalam membangun negaranya. Pemerintah tentu saja telah mendapatkan royalti dari perjanjian kontrak karya. Dan hasilnya, tidak sepenuhnya diturunkan untuk membangun kawasan sekitar perusahaan.
Kebijakan perimbangan pendapatan daerah dan pusat memang telah mengatur pembagian keuangan. Namun, kadangkala realitas yang dirasakan oleh masyarakat sekitar tambang jauh dari yang mereka harapkan. Harus dimaklumi pula, terkadang apa yang dilakukan pemerintah dianggap tidak mewakili perusahaan dalam menjalankan program sosial sebagaimana yang diharapkan oleh perusahaan tersebut. Karena itu, biasanya masyarakat tetap akan 'menyambangi' perusahaan untuk meminta berbagai layanan bagi mereka, berupa infrastruktur dan uang untuk memenuhi keperluan mereka.
Sebuah program kemasyarakatan yang baik harus langsung ditujukan ke masyarakat. Hal ini perlu guna menyeimbangkan apa yang diperoleh perusahaan dengan apa yang seharusnya dapat 'langsung dirasakan' oleh masyarakat setempat. Sweeting and Clark (2000), berpendapat, dalam berbagai kasus, perusahaan juga tidak dikehendaki menggantikan dan mengambil alih peranan pemerintah, dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat.
Artinya, perusahaan tidak selalu baik untuk memaklumi, bahkan berbaik hati menggantikan pemerintah, dan serta merta menjadi relawan dalam memperhatikan pembangunan sarana sosial yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Banyak program sosial dan bahkan lingkungan hidup pada persoalan pertambangan, tidak bisa dijembatani dengan kapasitas pemerintah dan perusahaan saja. Karena itu, tentu saja pekerjaan ini membawa konsekuensi bahwa kita harus memasang perencanaan pengembangan masyarakat sekitar secara baik dan sungguh sungguh.
Dengan mempelajari kasus ini, melihat ketertinggalan yang luar biasa di Papua, salah satu aspek yang baik juga dilakukan oleh perusahaan adalah, menolong dan menciptakan agar institusi yang telah ada menjadi lebih efektif, sambil menambah dan mengembangkan prasarana sosial yang telah ada. Memang, dalam berbagai kasus, ternyata perusahaan dan pemerintah tidak selalu berhasil dalam menjalankan program kemasyarakatan mereka sendiri.
Dengan semangat demokratis, pemerintah dan perusahaan perlu melibatkan dan menjalankan program secara kemitraan dengan melibatkan masyarakat madani (civil society), seperti lembaga pembangunan, atau LSM (lokal, regional maupun internasional) untuk mencapai keberhasilan pengembangan sosial dan lingkungan yang baik. Oleh Fachruddin M. Mangunjaya Mahasiswa Pascasarjana Program Biologi Konservasi, Universitas Indonesia
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP