(Media Indonesia, 13 Januari 2006)
Pemerintah pusat beserta pemerintah Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) dan Papua sedang menyiapkan skema pembagian hasil sumber daya alam (SDA) yang ada di dua provinsi itu. Prinsip pembagian itu menggunakan asas keadilan dan kesatuan ekonomi bagi seluruh wilayah eks Irian Jaya."Begitu Irjabar telah memiliki payung hukum, konsep pembagian hasil sumber daya alam di dua provinsi itu akan langsung dibahas untuk dicari kesepakatannya. Prinsipnya, sumber daya alam yang ada di seluruh wilayah Papua harus dapat dinikmati oleh provinsi induk dan pemekarannya," papar Pejabat Gubernur Irjabar Timbul Pudjianto kepada wartawan di Jakarta, Jumat (12/1).Saat ini, lanjutnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla selaku mediator penyelesaian masalah Papua-Irjabar telah memiliki konsep pembagian hasil berdasarkan persentase. Besaran bagi hasil pendapatan dari SDA itu yaitu 40% bagi kabuipaten/kota penghasil. 40% bagi kabupaten/kota yang berada di seluruh wilayah eks Irian Jaya, 10% masuk ke kas pemerintah provinsi Irjabar, dan 10% untuk kas Papua."Itulah yang dimaksud dengan prinsip keadilan dan kesatuan ekonomi di seluruh wilayah Papua. Meski prinsip keadilan bersifat universal namun pada prinsipnya setiap masyarakat di seluruh wilayah Papua harus merasakan hasil SDA. Konsep ini masih digodok oleh Wapres untuk selanjutnya dibicarakan dengan kedua provinsi," tambahnya.Konsep bagi hasil yang juga sedang dibahas, lanjutnya, adalah dengan mendasarkan pada luas wilayah dan jumlah penduduk. "Hanya saja ini masih sebatas konsep. Pembahasannya nanti begitu Irjabar telah memiliki payung hukum".Saat ini, sejumlah perusahaan besar melakukan eksplorasi dan produksi di wilayah Papua dan Irjabar. Perusahaan besar tersebut di antaranya PT Freeport yang berada di Timika, Papua serta PT LNG Tangguh di Teluk Bintuni dan Petro China di Sorong, yang keduanya berada di wilayah Irjabar.Pada kesempatan itu, Timbul juga meminta semua pihak untuk tidak lagi mengungkit-ungkit sejarah pemekaran Papua namun mengabaikan perencanaan pembangunannya. Kejadian di masa lalu harus disikapi dengan menjadikannya sebagai bahan evaluasi agar tidak terjadi lagi di masa mendatang."Secara fakta dan politis, Irjabar telah menjadi sebuah provinsi sendiri yang sudah memiliki DPRD dan batas wilayah. Itu sudah final. Hanya saja, sekarang tinggal membuat payung hukum dari operasionalisasi pemerintahan yang didasarkan pada status otonomi khusus (Otsus) bagi seluruh wilayah Papua. Janganlah kita terus menengok ke belakang dan melupakan rencana ke depannya," ujarnya.Ia juga menambahkan, pengukuhan berdirinya Irjabar tetap menggunakan putusan MK yang telah membatalkan UU No.45/1999 tentang Pemekaran Papua namun tetap mengakui eksistensi Irjabar karena telah berdiri sebelum keluarnya putusan itu.Pada kesempatan terpisah, Ketua DPRD Irjabar Jimmy Demianus Itjie menegaskan pihaknya akan mengajukan permohonan fatwa ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas rencana Majelis Rakyat Papua (MRP) yang akan kembali mempermasalahkan status pemekaran Irjabar yang langsung memperoleh status Otsus.Menurutnya, berdirinya Irjabar terjadi sebelum MRP dibentuk. Dengan demikian, MRP tidak berwenang untuk mempermasalahkan kembali pemekaran Irjabar. MRP hanya berwenang untuk menyetujui pemekaran daerah lain setelah MRP terbentuk."Kami akan minta fatwa ke MK untuk menanyakan apakah pengukuhan Irjabar harus mendapat persetujuan dari MRP ataupun DPRP untuk mendapat status Otsus. Sebab wilayah kabupaten/kota yang ada di Irjabar itu mendapat status Otsus dan berhak memperoleh apa yang diatur dalam ketentuan UU Otsus. Kalau kabupaten/kota mendapat Otsus, lalu mengapa provinsinya tidak," ujarnya.Pihaknya juga berencana akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika pemerintah belum membuat payung hukum Irjabar hingga 15 Februari mendatang.(Msc/Dini/OL-06)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP