(Liputan6.com, Papua Barat 16/06/2007 14:20)
Kofiau adalah sebuah pulau di wilayah Raja Ampat, Papua Barat, yang menyimpan peradaban salah satu suku laut di Indonesia. Sebelum abad 18, Kofiau menjadi kawasan jajahan Kerajaan Ternate. Legenda setempat menyebut asal kata Kofiau dari kisah kopiah Raja Jailolo yang tertinggal di pulau besar ini.
Adapun Betew adalah suku yang menghuni pulau tersebut. Suku perantau dari Pulau Waigeo atau wilayah utara dari Kofiau yang hanya berjarak 60 mil. Sejak abad 19, suku Betew telah mendiami Pulau Kofiau dan berbaur dengan para pendatang dari Pulau Biak. Dan hingga saat ini, laut seperti tak akan pernah lepas dari tali kehidupan suku Betew. Mereka memang mendiami bibir pantai. Dan mengambil ikan sekadarnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Setiap keluarga minimal memiliki satu sampan. Maklum, sampan adalah alat transportasi yang penting dalam kehidupan warga Betew. Dengan perahu kecil itulah, baik tua maupun muda kerap mencari ikan di laut. Dan ikan yang paling dicari adalah ikan lema. Ikan ini berenang mengikuti arus laut yang terus berubah. Walau demikian, anak-anak suku Betew tetap mencarinya dengan peralatan sederhana.
Cara mencari ikan dengan peralatan sederhana tak hanya dikerjakan anak-anak. Pria dewasa seperti Yosafat pun melakukannya. Adapun panah atau jubi-jubi adalah satu-satunya alat yang digunakan Yosafat. Jubi-jubi memiliki daya jangkau hingga lima meter. Alat ini menjadi andalan suku Betew untuk menangkap ikan pada kedalaman hingga empat meter.
Sekilas memang mudah, namun mencari ikan dengan jubi-jubi memerlukan pengaturan napas tersendiri. Lantaran terbiasa, Yosafat mampu bertahan dalam air sekitar tiga menit dalam sekali tarikan napas. Memang, meneliti gerak-gerik ikan sangat penting dalam menggunakan jubi-jubi. Dan kali ini Yosafat berhasil membidik ikan samandar hitam.
Selain mencari ikan dengan jubi-jubi, masyarakat suku Betew juga mempunyai suatu kebiasaan positif. Mereka kerap berpatroli keliling perairan yang luasnya sekitar 84 hektare. Ini semata-mata untuk mencegah tindakan yang sifatnya merusak, seperti bom racun dengan bahan kimia potasium. Kegiatan ini digelar seminggu sekali.
Dalam pandangan suku Betew, kuasa laut di bawah adalah rumah bagi ikan-ikan. Terlebih, perairan Kofiau memiliki kekayaan terumbu karang dan makanan yang berlimpah bagi ikan-ikan. Lembaga penyelamatan lingkungan Nature Conservacy menyebut sekitar 75 persen jenis karang dunia terdapat di kawasan Raja Ampat, Papua.
Rincinya, ada 537 jenis spesies terumbu karang yang hidup di perairan tersebut. Itu adalah tempat aman bagi 1.074 jenis ikan karang. Dengan kata lain, semakin kayanya terumbu karang, kian beragam pula ikan yang datang.
Satu di antara indikasi perairan sehat dapat ditandai kehadiran pigmen bintang laut yang memunculkan warna-warni seperti bintang laut sinularia. Sementara ikan-ikan pemakan plankton seperti damsel banyak bersandar di dekat acropora dan karang lunak. Di acropora dan karang lunak, ikan-ikan dengan mudah menyebar benih telur di sekitarnya. Ikan kupu-kupu pun mencari makan di sekitar karang lunak. Ada juga ikan badut yang selalu identik dengan lautan kategori baik yang bersimbiosis dengan anemon laut.
Terumbu karang memang beragam di perairan Kofiau. Karang daun besar, misalnya, telah tumbuh selama ratusan tahun. Berdasarkan suatu penelitian, karang tumbuh setiap tahunnya hanya lima sentimeter. Rata-rata turbinaria atau karang daun itu sudah tumbuh sekitar satu meter dari permukaan laut.
Kekayaan terumbu karang di sana memang perlu dijaga. Untuk itu, setiap bulan, para pencinta lingkungan melihat kondisi kesehatan karang sebagai tempat peneluran ikan. Kegiatan itu penting guna menjaga kesehatan perairan, terutama jutaan ikan akan bersemai di dalamnya. Dengan demikian, keutuhan rantai makanan dapat terjaga dengan baik.
Perairan Kofiau jelas memiliki kekayaan hayati yang berlimpah. Namun, suku Betew hidup di kawasan tersebut tidak serta-merta mengeksploitasi habis-habisan potensi itu. Maka, berkebun menjadi pilihan utama pemenuhan kebutuhan hidup warga.
Adapun permukiman suku Betew terpisah dengan kebun sebagai tempat menyimpan makanan. Tujuannya sederhana, yaitu agar lingkungan tempat kebun suku ini tidak akan tergusur oleh kebutuhan tempat tinggal. Ini berarti lahan bakal tetap terjaga secara turun-temurun. Dan sagu adalah tanaman utama.
Sebagai makanan pokok, sagu harus diolah terlebih dahulu. Orang Betew biasanya merendam sagu dalam goti atau penampung paling lama sehari. Dalam goti itu terdapat celah untuk air. Sebab, air digunakan untuk membilas sagu. Sagu yang telah bersih kemudian dibiarkan mengendap agar dapat diambil sari patinya. Proses pengendapannya adalah selama beberapa jam.
Kaum adam biasanya menyiapkan tumang atau wadah pengawetan sementara untuk sagu. Tumang ini dibuat dari daun sagu. Setelah diendapkan, sagu dipindahkan ke dalam tumang. Tumang adalah wadah agar sagu ini nantinya dapat diolah dan dimakan.
Selain mencari sagu, masyarakat Betew mengandalkan kopra sebagai bahan yang dapat dijual dan ditukarkan dengan barang lain. Setiap hari, warga suku Betew dapat menghasilkan kopra sekitar 200 kilogram dengan harga per kilogramnya Rp 2.500. Biasanya, suku Betew mengumpulkan semua kelapa kopra yang telah jatuh. Kopra kemudian disimpan di para-para. Kopra memang laku dijual karena merupakan bahan ekstrak minyak dan sabun.
Orang Betew di Kofiau, mensyukuri setiap kekayaan alam di sekitarnya. Ekspresi rasa syukur dan gembira dalam nyanyian dan tarian Yospan. Tarian kemenangan untuk merayakan kesahajaan dalam kesederhanaan hidup.(ANS/Tim Potret SCTV)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP