(www.radartimika.com, 30-12-2008)
SORONG - Pemerintah memproyeksikan Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat menjadi pusat industri petrokimia. Rencana tersebut berkaitan dengan mulai berproduksinya proyek gas alam cair Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya mendapat tugas khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono guna menilai potensi mendirikan industri petrokimia di Tangguh. Selain memaksimalkan potensi gas, industri tersebut juga digunakan untuk mengantisipasi penurunan harga minyak internasional.
’’Kita mencari nilai tambah dari gas di Tangguh. Kalau hanya jualan gas, ketika harga minyak turun, pendapatan (bagi hasil migas) pemerintah ikut turun,’’ ujar Kalla ketika menjadi pembicara kunci di seminar tentang otonomi khusus Papua di Sorong, Papua Barat, kemarin (29/12).
Wakil Presiden Jusuf Kalla hari ini memang dijadwalkan berkunjung ke Teluk Bintuni untuk melepas kargo ekspor perdana gas alam cair Tangguh. Kalla juga dijadwalkan meresmikan pengeboran perdana lapangan minyak hasil kerja sama operasi Pertamina dan Petrochina di Kabupaten Sorong.
Proyek gas alam cair Tangguh adalah megaproyek yang dikerjakan konsorsium yang dipimpin perusahaan migas Inggris BP Plc. Dengan pengapalan perdana kargo gas hari ini, proyek senilai USD 5 miliar itu bisa memenuhi komitmen pengapalan gas kepada semua pembeli.
Sesuai kontrak, pembeli LNG dari Tangguh adalah CNOOC untuk pengiriman ke terminal Fujian sebesar 2,6 metrik ton per tahun. Pembeli lain adalah Sempra Energy LNG Corporation untuk pengiriman ke receiving terminal di Costa Azul, Mexico, seberat 3,7 metrik ton per tahun. Gas yang dikirim ke Sempra dipasarkan di Amerika Serikat dan Meksiko.
Gas alam dari Tangguh juga dikirimkan ke POSCO, K-Power, dan SK Corporation dari Korea Selatan. Pembeli yang juga telah antre adalah Tohoku Electric dari Jepang. Proyek LNG Tangguh akan mengolah gas yang berasal dari tiga ladang gas di Papua Barat. Yaitu, blok Berau, blok Muturi, dan blok Wiriagar.
Cadangan gas terbukti dari ketiga ladang itu adalah 14,4 triliun kaki kubik. Untuk tahap awal, Tangguh direncanakan memproduksi 7,6 metrik ton LNG per tahun dari dua unit pemurnian dan pencairan gas (train). Dengan beroperasinya lapangan gas Tangguh dan Petrochina, ujar Kalla, dana bagi hasil yang diperoleh rakyat Papua Barat dipastikan meningkat.
Sebab, sesuai UU Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, provinsi berhak mendapatkan 70 persen alokasi dana bagi hasil yang diterima pemerintah. ’’Apalagi, dana bagi hasil migas untuk Papua dan Papua Barat sangat besar. Jauh lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain yang hanya memperoleh 15 persen dari dana bagi hasil migas yang diterima pemerintah," katanya.
Kalla yakin, tambahan dana bagi hasil migas tersebut akan mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat yang infrastrukturnya sangat tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain. Namun, sebelum dana bagi hasil tersebut terealisasi, Wapres meminta pemerintah provinsi dan DPR Papua mengoptimalkan pemanfaatan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana otonomi khusus yang tahun ini mencapai Rp 29 triliun.
Bila dihitung dari sisi keuangan, alokasi anggaran pemerintah dibagi jumlah penduduk di Papua dan Papua Barat jauh melebihi provinsi lain. Dengan jumlah penduduk hanya 2,9 juta jiwa, setiap kepala di kedua provinsi mendapatkan alokasi dana Rp 10 juta per orang per tahun. ’’Kalau dibagikan, per keluarga bisa mendapat Rp 40 juta per tahun. Bandingkan dengan Sulawesi Selatan yang hanya Rp 2 juta per kepala, atau Jawa Barat yang hanya Rp 1,5 juta per kepala,’’ kata dia.
Karena itu, Wapres meminta pemerintah dan DPRD tidak hanya menuntut hak dan melupakan kewajiban otonomi khusus. Kedua lembaga diminta saling mendukung, sekaligus saling mengkritik kebijakan yang salah secara konstruktif. ’’Kalau bupati terlalu lama di Jakarta, DPRD harus mengkritik. Sebaliknya, kalau DPRD terlalu rajin studi banding, bupati juga harus teriak. Semua pihak harus bekerja sebaik mungkin untuk rakyat,’’ tegasnya.
Kalla juga membantah bahwa pemerintah pusat tidak adil. Sebab, dana yang ditransfer ke kedua provinsi jauh lebih besar dibandingkan dengan dana yang diterima dari royalti PT Freeport, yakni Rp 17 triliun per tahun. ’’Mengapa manfaatnya belum terlihat? Itu terjadi karena wilayah Papua sangat luas dan penduduknya terpencar sehingga susah membangun infrastruktur. Lagi pula, biaya pembangunan infrastruktur di Papua dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan Jawa,’’ terangnya.
Meski demikian, Kalla mengakui bahwa pemerintah terlambat membangun infrastruktur di Papua dan Papua Barat. Ketika itu, pemerintah berpikir tidak efisien membangun infrastruktur bila hanya melayani penduduk yang sedikit dan tersebar. Namun, pemerintah kini membalik paradigma tersebut. ’’Kalau infrastruktur tidak dibangun, mereka mau lewat mana,’’ jelasnya. (noe/oki/jpnn)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP