( www.walhi.or.id, Selasa 23 Mei 2006 )
Advokasi Tambang (JATAM), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menanggapi kemungkinan salah arah rencana pemerintah untuk melakukan renegosiasi kembali kontrak karya II antara Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport/RIo Tinto. DPR-RI bahkan sudah membentuk satu tim
penasehat re-negosiasi kontrak karya Freeport dan melaporkan kajiannya minggu lalu.
WALHI, JATAM, dan ICEL menilai pemerintah tidak bisa mengkaji ulang kontrak karya Freeport hanya berkaitan dengan besaran uang yang didapat lewat pajak atau royalti serta divestasi semata. Kerusakan lingkungan yang demikian parah serta gagalnya Freeport memberikan jaminan keselamatan,
keamanan, dan kesejahteraan bagi rakyat setempat tidak bisa diabaikan begitu saja. Kajian atas inilah yang mendasari segala tindakan berkaitan dengan masa depan operasi pertambangan PT. Freeport/Rio Tinto
Freeport/Rio Tinto Indonesia adalah perusahaan yang mengoperasikan pertambangan terbesar di dunia di gunung Grasberg 3000 m diatas permukaan laut. Wilayah Kontrak Karya Freeport menurut sejumlah data resmi mengandung 50% cadangan emas Indonesia.
Kontrak Karya dan operasi pertambangan PT Freeport di Pegunungan Tengah Papua mengundang kontroversi berkaitan dengan pelanggaran lingkungan, keterlibatan aparat militer dan kepolisian, dan pelanggaran HAM.
Maret lalu, Tim Proper Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan temuan yang menunjukkan sejumlah pelanggaran hukum dan peraturan lingkungan di Indonesia. Freeport tidak memiliki ijin membuang air asam tambang dan gagal memenuhi baku mutu padatan tersuspensi dalam effluent yang dibuang di muara S. Ajkwa.
Sementara itu pula, dokumen-dokumen resmi yang dianalisa oleh Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa kontaminasi yang dihasilkan oleh Freeport bukan hanya pada padatan tersuspensi. Freeport melepaskan 53.000 ton tembaga per tahun ke sungai Aghawagon-Otomona. Pencemaran logam
Berat ini melebihi baku mutu untuk air tawar di sungai tersebut dan juga untuk air laut di Muara Ajkwa [1].. Tembaga bahkan sudah mengkontaminasi rantai makanan di hampir keseluruhan biota laut yang tinggal di wilayah muara S. Ajkwa.
"Pemerintah Indonesia memang harus meninjau ulang Kontrak Karya Freeport, terutama sekali karena pertambangan yang dilakukan Freeport sudah merusak lingkungan dan komunitas amat parah," menurut Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.
"Pemerintah Indonesia harus berani mengakui dan bilang bahwa pertambangan pada skala yang dioperasikan oleh Freeport merugikan negara dan orang Papua dari segi lingkungan maupun sosial", kata Siti Maimunah, Koordinator JATAM.
Kajian WALHI atas laporan internal Freeport menunjukkan bukan saja kerusakan total wilayah seluas kota Bandung (230 km persegi). Freeport bertanggung jawab atas resapan air asam tambang ke sistem air tanah yang belum tertangani hingga saat ini
"Kami mendesak agar pemerintah segera membentuk panel investigasi independen yang menilai kelayakan tambang Freeport dari sudut pandang kerugian lingkungan, kerugian sosial, dan detail kerugian negara dan rakyat Papua yang selama ini belum terungkap. Hal ini harus dilakukan
lebih dahulu sebelum merenegosiasi KK Freeport," kata Chalid.
Hal senada didukung oleh Siti Maimunah dari JATAM, dan Indro S, Direktur ICEL. Indro Sugianto, Direktur ICEL mengatakan bahwa persoalan PT Freeport harus dilihat dari sisi perlindungan hak konstitusional rakyat atas lingkungan dan Sumber Daya Alam. Karena itu adalah merupakan kejahatan
Konstitusional yang sangat berat apabila Pemerintah Indonesia melakukan negosiasi ulang tanpa melibatkan konsultasi yang hakiki dengan rakyat, khususnya rakyat Papua. Kemudian, terkait dengan temuan-temuan permasalahan hukum yang timbul harus segera ditindaklanjuti dengan tindakan penegakan hokum sebelum proses renegosiasi KK dilakukan.
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP