(www.cenderawasihpos.com, 06-08-2008)
Selama empat hari hingga awal Agustus 2008 lalu, 75 petani dan pengusaha industri berbasis jagung Indonesia berstudi banding ke Thailand. Berikut catatan Amal Alghozali, ketua umum Persaudaraan Masyarakat Tani yang juga direktur PT SMS Indoputra, produsen pupuk biologi Agrobost dan Golden Harvest.
JAGUNG merupakan komoditas yang paling seksi sejak beberapa tahun ini. Bukan hanya di Indonesia, tapi di hampir semua negara. Mengapa? Sebab, jagung, kedelai, dan kelapa sawit kini bukan lagi hanya untuk kebutuhan industri makanan atau pakan ternak. Sejak isu pemanasan global serta kelangkaan energi mencuat, beberapa negara besar mengubah jagung untuk kepentingan energi.
Jagung dijadikan bahan biofuel. Jagung menjadi etanol. Akibatnya, harga jagung melonjak. Indonesia bahkan tidak bisa lagi mengimpor jagung untuk menutupi kekurangan. Selain jagung, bahan etanol yang paling populer adalah tebu dan singkong.
Isu itulah yang memengaruhi semua orang, termasuk para petani di Indonesia, untuk berlomba menanam jagung. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir, di lahan-lahan milik PT Perhutani di Jawa, begitu musim hujan tiba, nyaris tidak ada sejengkal pun yang tidak ditanami jagung oleh masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Tidak mengherankan, ketika ada tawaran berstudi banding ke Thailand yang difasilitasi PT Dupont Indonesia (produsen benih jagung hibrida merek Pioneer), banyak petani dan pengusaha yang terkait dengan industri jagung berebut mendaftar.
Menurut Adhie Widiharto yang mengorganisasi acara tersebut, pihaknya terpaksa membatasi jumlah peserta 75 orang saja. Pendaftar yang belum mendapat kesempatan diberangkatkan pada kloter kedua, sekitar November nanti.
Rombongan besar dari Indonesia tersebut, antara lain, Suryatim ''Timmy'' Habibie (adik mantan Presiden B.J. Habibie) yang akan mengembangkan jagung terpadu di Sulawesi, Anton Supit dari asosiasi peternak unggas, serta Safitri dari PT Bangun Cipta Group milik Ir Siswono Judo Husodo yang mengembangkan jagung berskala besar di Merauke, Papua.
Grup pengusaha dari Surabaya, Pontianak, NTB, NTT, Manado, PTPN Sumatera Utara, bahkan wakil perusahaan Korea (yang berkantor di Indonesia) pun ikut bergabung dalam program tersebut. Mereka berasal dari berbagai bidang usaha. Mulai industri pakan ternak (PT Japfa Comfeed), lembaga keuangan, industri pupuk, dan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang mengembangkan jagung dengan sistem tanam tumpang sari.
Begitu kami mendarat di Bangkok (sore menjelang malam), rombongan langsung dibawa ke Restoran Royal Dragon yang sangat terkenal. Restoran itu sangat khas. Bukan hanya karena menyediakan menu khas Thailand, tapi juga karena menyuguhkan atraksi-atraksi spektakuler. Misalnya, pelayan mengantarkan makanan pesanan dengan meluncur menggunakan kawat sepanjang 500 meter. Maklum, restoran tersebut luar biasa besar dengan kapasitas lebih dari 5.000 tempat duduk.
Selanjutnya, kami dibawa ke Suam Lum Night Bazaar. Yaitu, pasar malam terbesar di Asia yang menyuguhkan berbagai hasil kerajinan, sayur, serta buah yang diprioritaskan pada pengusaha menengah ke bawah. Harganya relatif murah dengan kualitas yang sangat baik.
Pada hari kedua, pagi-pagi sekali rombongan sudah dibangunkan untuk segera bersiap dan sarapan di hotel. Sebab, acara ''belajar'' manajemen produksi jagung segera dimulai. Dari kota Bangkok, kami dibawa ke Provinsi Lobbury, sekitar 2 jam perjalanan dengan bus.
Lokasi pertama yang dikunjungi adalah pabrik pembuat corn planter, yaitu alat tanam jagung menggunakan mesin sederhana yang bisa menanam jagung 8 hektare per hari. Harga mesinnya sangat murah, sekitar Rp 7 juta. Pabrik tersebut memproduksi 24 planter per bulan dan sekitar 250 planter per tahun dengan ukuran 2 row (baris) maupun 4 baris. Bahkan, ada pemesan yang menggunakan 7-8 baris.
Hampir seluruh daerah di Indonesia sudah saya kunjungi, tapi belum pernah saya temukan pemakaian planter sederhana seperti itu oleh para petani di tanah air (meski sebetulnya sudah ada penjual planter di Indonesia). Pertanian jagung di negeri kita masih padat karya, tradisional, dan manual sehingga sulit mendapatkan cost usaha pertanian yang lebih murah.
Perjalanan kami lanjutkan ke kawasan pertanian dan perkebunan. Kesan yang muncul di pikiran saya, pemerintah Thailand memang serius mengurus pertanian. Hal itu terlihat dari infrastruktur yang dipersiapkan dengan baik. Semua jalan menuju kawasan pertanian dibuat sangat lebar, mulus, dan tidak ada jalan yang rusak. Bahkan, tampaknya, Negeri Gajah Putih itu sudah mendesain sedemikian rupa agar hasil panen dapat diakses angkutan dengan mudah.
Kawasan pertanian dan perkebunan juga didesain menurut komoditas. Ada kawasan-kawasan yang hanya menanam komoditas buah, sayur, dan perkebunan. Selain itu, kawasan pertanian ditata agar bisa dijual dan dikemas dalam paket pariwisata. Kedatangan kami, misalnya, didampingi para pemandu wisata yang sangat paham dan bisa menceritakan secara detail kebijakan pemerintah di sektor pertanian.
Petani juga tidak punya kekhawatiran ke mana menjual hasil produksi setelah panen karena semua sudah tertata dan terencana begitu rapi. Kondisi yang kami lihat di lapangan hari pertama di kawasan itu sangat kontras dengan daerah-daerah pertanian di Jawa, apalagi di luar Jawa. Di tanah air, ketika musim panen raya padi ataupun jagung, bahkan panen sayuran di Indonesia, harga selalu jatuh. Salah satu faktor utamanya adalah mahalnya biaya transportasi.
Saya menjadi teringat wajah-wajah petani pelanggan pupuk saya di kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, tepatnya di Desa Tanah Merah. Pada Februari 2008, saya mengajak Ketua DPR Agung Laksono panen raya jagung di kawasan itu. Kepada ketua DPR, para petani di sana mengatakan, meski hasil panen jagung melimpah berkat penggunaan bibit dan pupuk yang bagus, tetap saja penghasilan petani tidak memadai dibandingkan dengan modal kerja dan jerih payahnya.
Penyebab utama adalah biaya angkutan yang sangat mahal karena truk tidak bisa mendekati lokasi panen. Bayangkan, petani harus menyewa ojek untuk mengangkut jagung. Problem angkutan adalah salah satu. Problem lain adalah buruknya penanganan pascapanen. Misalnya, jagung rusak akibat jamur yang disebut dengan avlatoksin. Tentu bisa ditebak, harga jagung semakin hancur.
Kondisi seperti itu bukan hanya terjadi di Lombok (NTB). Di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, bahkan di sebagian wilayah Jawa Timur juga masih banyak wilayah yang infrastruktur jalannya tidak mendukung sektor pertanian.
Meski demikian, kemampuan petani Indonesia dalam hal teknik budi daya, baik tanaman padi maupun jagung, tidak kalah jika dibandingkan dengan petani Thailand. Banyak petani kita lebih hebat dalam memproduksi jagung. Hasil rata-rata produksi per hektare di atas 8-9 ton. Hanya, dalam dunia pertanian, kita tidak cukup hanya melihat aspek teknik dan keampuan budi daya.
Banyak aspek yang harus dibenahi. Apalagi, sampai sejauh ini bidang-bidang yang terkait dengan pertanian seperti jalan sendiri-sendiri. Tidak ada koordinasi dan saling dukung antarlembaga terkait. Akibatnya, sepanjang sejarah Indonesia petani tetap menjadi kelompok sosial yang paling dirugikan dan menjadi objek atas berbagai program.
Saat ini di tanah air ada sekitar tiga setengah juta hektare lahan jagung setiap tahun. Dari lahan seluas itu, hampir 60 juta petani terlibat. Namun, sampai saat ini Indonesia baru bisa memproduksi tak lebih 12 juta ton per tahun. Sedangkan di Amerika, 300 ribu petani mampu memproduksi sedikitnya 60 juta ton jagung per tahun.
Hal yang sama terjadi jika dibandingkan dengan nasib petani Thailand. Di sana petani hanya membutuhkan waktu seminggu untuk mengurus pencairan kredit menjelang musim tanam. Namun, petani kita kebanyakan tidak berani datang ke kantor bank untuk mengajukan kredit.
Bank di Thailand justru mendatangi para petani dan trader untuk membantu saat musim tanam akan tiba. Kebanyakan memang kredit yang diberikan untuk usaha yang dibayarkan setelah panen, melalui koperasi atau pihak lain (bisa perorangan atau industri hilir) sebagai penjamin. Sudah menjadi rahasia umum, petani kita minder bertemu orang bank. Sebab, pertanyaan pertama adalah apa agunan yang dijadikan jaminan.
Di Thailand, untuk petani yang mengajukan kredit di bawah Rp 5 juta bunganya hanya 6 persen setahun. Jika kreditnya di atas Rp 100 juta, mereka hanya dikenai bunga 8 persen per tahun. Kondisi itu kontradiktif dengan bunga yang diterapkan bank pemerintah kita yang memiliki kantor di setiap kecamatan yang mengklaim dirinya retail banking. Petani dan usaha mikro di Indonesia rata-rata dikenai bunga 28 persen per tahun, ditambah biaya administrasi, notaris, provisi, dan banyak biaya aneh lain.
Saat kami turun ke desa-desa, para petani Thailand umumnya masih sangat terkesan dan memuji mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang digulingkan melalui kudeta militer beberapa tahun lalu. Menurut mereka, Thaksin sangat hebat dan berpihak kepada petani. Semua rakyat Thailand juga sangat menghormati pemimpin, khususnya raja. Rakyat Thailand sudah terbiasa menghadapi gejolak politik. Maklum, sampai saat ini Thailand sudah mengalami 25 kali kudeta.
Selama beberapa hari di kawasan pertanian Thailand Utara, kami juga belajar bertani jagung dalam skala luas. Di sana lahan seluas 500 hektare cukup dikerjakan tiga atau empat orang. Kenapa bisa? Semuanya sudah menggunakan alat dan mesin yang bekerja secara mekanis. Mesin dan alat untuk mengolah lahan, membajak, menabur benih, menabur pupuk, dan alat penyemprot herbisida tersedia di hampir setiap toko pertanian.
Di setiap desa bahkan ada tempat penyewaan alat dan pabrik-pabrik kecil yang melayani pesanan pembuatan alat dan mesin pertanian. Hampir semua peralatan bisa dibuat oleh bengkel-bengkel kecil. Kami yakin bengkel-bengkel di Indonesia juga bisa membuat hal serupa dengan hasil yang lebih baik.
Yang belum bisa dibuat oleh pabrik dan bengkel-bengkel pertanian di Thailand adalah mesin untuk panen. Harvester Machine yang digunakan masih buatan Amerika. Dengan mesin itu, dalam sehari bisa dipanen lahan seluas 50 hektare. Hasilnya juga sudah berbentuk jagung pipilan yang siap diangkut ke gudang pengeringan.
Tentu tidak fair dan tidak adil membandingkan nasib petani Indonesia dengan Thailand. Penduduk Thailand hanya sekitar 65 juta orang atau seperempat penduduk Indonesia. Tetapi, sepulang dari sana, kami menjadi punya inspirasi dan gambaran model pertanian masa depan Indonesia. (el)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP