(www.suarapembaruan.com, 05-08-2008)
Bustami, koordinator penyuluh pertanian Kabupaten Wajo, mencoba menyela- matkan tanaman kakao dengan cara penempelan tunas pada batang induk pohon kakao yang bermasalah.
Seorang petani kakao masuk ke kota membeli kulkas untuk dibawa ke desa. Ternyata, mesin pendingin itu hanya dijadikan lemari pakaian, lantaran rumahnya yang terletak di tengah kebun kakao belum tersentuh jaringan listrik.
Kisah ini menjadi cerita khas petani kakao yang menggambarkan saat-saat awal buah "emas cokelat" itu memberi kenikmatan kepada petani di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), pada era tahun 1980-an.
Kakao berhasil mendongkrak nama Sulsel sebagai daerah pemasok terbesar kakao nasional yang mencapai 70 persen. Kejayaan komoditas ini mencapai puncaknya ketika rupiah anjlok pada tahun 1998, kakao yang harga jualnya dinilai dengan dolar Amerika Serikat menjadikan petani kaya mendadak.
Petani terbuai dan pemerintah terlena menikmati kontribusi dari devisa kakao, tanpa memfokuskan kesinambungan komoditas tersebut, sementara hama terus berpesta, dari jenis Vascular Streak Dieback (VSD) hingga hama penggerek buah kakao (PBK). "Dalam tiga tahun terakhir, hama VSD dan penggerek buah menyerang sekitar 1,3 juta hektare (ha) tanaman kakao di Indonesia. Akibatnya, produksi kakao turun sebesar 40 persen," ujar Halim Razak, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo).
Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu'mang mengatakan, kakao merupakan komoditas unggulan yang akan dipacu produksinya di Sulsel, selain padi, jagung, udang, dan sapi. Produksi kakao Sulsel saat ini mencapai 179.000 ton dan Agus berharap mampu mencapai 300.000 ton pada tahun mendatang.
Obsesi
Sayangnya, obsesi pemerintah tidak dibarengi implementasi kebijakan, khususnya dalam penanggulangan hama yang menghancurkan tanaman kakao. Padahal, kakao merupakan salah satu komoditas yang ikut menyumbangkan 38 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulsel dari sektor pertanian. Kini, kakao Sulsel sedang menghadapi kondisi kritis dan kejayaan itu terancam akan tinggal menjadi kenangan.
Berdasarkan pemantauan SP, di salah satu sentra produksi kakao Kabupaten Wajo, Sulsel, Jumat (1/8), ratusan hektare pohon kakao dalam kondisi kering kerontang di Desa Tanrongi dan Bulete, Kecamatan Pitumpanua.
"Memang, sejak tahun 2000 hama PBK telah membuat petani di daerah ini menderita kerugian, namun PBK bisa dikendalikan dengan sistem paket P3S, yakni Pemangkasan, Pemupukan, Panen Sering Sekali Seminggu dan Sanitasi," ujar Bustamin, koordinator penyuluh pertanian Kabupaten Wajo.
Tidak hanya di Wajo, serangan hama itu terjadi, kakao di daerah lain pun demikian dan yang terberat dihadapi petani sekarang adalah tanaman kakao yang mengering lalu mati. Petani bingung, bagaimana cara mengatasinya, mereka hanya pasrah saja dan membiarkan tanamannya mati.
VSD bukanlah hama baru, ditemukan sejak tahun 1960-an, muncul menyerang batang kakao dan meluas disebabkan oleh perubahan pola cuaca, yakni musim hujan lebih panjang sehingga kondisi menjadi lebih lembap. Akibatnya, jamur VSD berkembang dan menyerang batang hingga membusuk. Kondisi itu juga yang dialami petani di Pitumpanua, sebab sebagian daerah itu pernah direndam banjir dan menggenangi tanaman kakao.
Bustami sudah mencoba membuat perlakuan khusus untuk menyelamatkan tanaman kakao. Dia mencontohkan cara penempelan tunas dengan mengupas tunas dari pohon kakao yang sehat dan berbuah normal, lalu ditempel pada batang induk pohon kakao yang bermasalah dengan bantuan isolasi. "Cara penempelan ini bisa menyelamatkan pohon kakao yang terserang VSD. Saya sudah coba di Desa Tallesang dan Macanang, hasilnya memuaskan," katanya.
Dalam tempo delapan bulan, tunas sudah membesar dan mengeluarkan bakal buah, saat itu cabang yang sudah mulai rusak dipotong. "Petani yang mengikuti cara ini mampu menyelamatkan tanamannya, sedangkan yang bermasa bodoh harus menerima risiko kerugian yang sangat besar," jelasnya.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Wajo, Syahruddin mengatakan, sangat menyayangkan kelambanan pemerinntah membantu masalah yang dihadapi petani kakao.
"Kalau semua tanaman kakao sudah mati, barulah pemerintah mau membuat program penyelamatan. Artinya, proyek dibuat untuk menguras uang negara, tapi masalah tak teratasi," katanya. [SP/M Kiblat Said]