Penulis : Dominggus A. Mampioper
Saat ini perusahaan PT Freeport mulai mengapalkan 4000 ton tailing yang oleh media lokal di Papua disebut sirsat atau pasir sisa tambang menjadi bahan baku pembangunan jalan di Kabupaten Merauke. Studi yang dilakukan LAPI ITB untuk memanfaatkan tailing sejak tahun 2000 lalu kini mulai digunakan sebagai bahan baku semen. Walau demikian untuk mengikat sebuah tailing sudah jelas membutuhkan banyak polimer-polimer untuk membantu sebuah semen eks tailing (sirsat)
Lalu timbul pertanyaan apakah tailing itu sudah bebas dari limbah logam berat? Pengalaman warga di Kampung Omawita di luar areal konsesi PT Freeport menyingkapkan bahwa warna tambelo sejenis ulat kayu bakau sudah berubah warna kehitam-hitaman karena logam tembaga (Cu) dan rasanya sudah tak seenak dulu.
Kepada penulis, mantan Vice President Environmental, Dr Bruce Marsh pernah menuturkan bahwa jangan khawatirkan pasca tambang karena sudah menyiapkan semua rencana setelah Grasberg berakhir. Apalagi yang namanya ghost town, tidak akan ada di lokasi bekas tambang di sana .
Walau demikian peneliti dari Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Ir Musa Sombuk, Msc. mengatakan, kalau mau berbicara tentang pasca tambang memang masih lama sekitar 2039, tetapi indikasi perbaikan ke arah itu bisa dilihat dari kegiatan sepuluh tahun terakhir.
“Saya melihat selama sepuluh tahun terakhir ini belum ada landasan yang kuat pasca tambang,” tegas mahasiswa program doktor Universitas Nasional Australia itu, saat berdiskusi dengan penulis di Jayapura 4 Juli lalu.
Menyinggung soal sirsat atau tailing, menurut Sombuk perlu mengkaji lebih dalam, apakah semen tailing bebas dari logam berat (B3) atau tidak meskipun telah dicampur dengan polimer. “Sedang kata sirsat hanyalah permainan public relation untuk memperhalus kata tailing yang dianggap tabu bagi mereka,” ujar Sombuk.
Bagaimana dengan sedimentasi tailing yang telah berlangsung bertahun-tahun di kawasan bumi Suku Kamoro. Rupanya mata rantai makanan di daerah Omawita, Kaugapu dan sepanjang Kali Ajkwa terputus akibat sedimentasi tailing. Persoalannya sekarang mampukah semua pihak terutama pemerintah pemberi hak eksplorasi dan penerima mandat untuk menambang PT FI memperbaiki kembali mata rantai makanan yang telah terputus itu?
Ironis memang, investasi yang tadinya bisa membawa kesejahteraan masyarakat terpaksa harus memakan banyak korban. Mulai dari tuduhan separatis karena merasa hak-hak mereka dirampas hingga mendulang emas karena tuntutan ekonomi dan perubahan sosial budaya.
Kemilau emas dan tambang ternyata tidak mereka nikmati dan hanya mencari remah-remah emas di seputar sisa tailing di ketinggian ribuan meter. Mereka menahan dinginnya ketinggian dan air keruh Kali Ajkwa.
Penggalian Terus Berlangsung
Sementara itu operasi Grasberg saat ini masih terus berlangsung dan penggalian terus dilakukan. Produksi berasal dari penambangan terbuka di Grasberg dan penambangan bawah tanah di wilayah timur tambang terbuka Ertsberg yaitu di Intermediate Ore Zone (IOZ) dan Deep Ore Zone(DOZ).
Limbah di sekitar lubang tambang terbuka di lembah Cartenzst, Grasberg Barat dan Lembah Wanagong. Seluruh proses penambangan hingga pemisahaan logam-logam yang bernilai ekonomi, menghasilkan timbunan batuan limbah (overburden). Produksi bijih tambang PT Freeport Indonesia saat ini meningkat terus hingga lima kali lipat dibanding sepuluh tahun lalu.
Konsekuensinya jumlah limbah pun berlipat ganda. Tercatat jumlah tailing (sisa buangan tambang) per tahun sekitar 45 juta ton (PT FI 1998), lima persen (5 %) berupa pasir halus yang tidak mengendap di tanggul, terus terbawa aliran Sungai Ajkwa sampai ke Pantai Mimika. Bahkan sebelum tanggul di bagian Timur dibangun, tailing ini juga mengalir ke Sungai Minajerwi. (laporan Studi Mollusca di Kawasan Muara Sungai dan Pantai Mimika, Agustus 1999).
Dari total bijih yang diolah hanya 3-4 % menjadi konsentrat yang mengandung emas, perak dan tembaga, lainnya limbah yang disebut tailing. Tailing dalam bentuk lumpur (slurry) dibuang dari dataran tinggi melalui sungai Aghawagon, Otonoma, dan Ajkwa dan diendapkan di dataran rendah Ajkwa. Akibatnya terjadi perubahan pada habitat flora sub alpine, geoteknik, geokimia dan geomorfologi, termasuk flora teresterial, biota akuatik, dan kualitas air.
General Superintendent Mine Surface Enginering PT FI, Dani Hamdani mengatakan, pertambangan sangat ditentukan sejauhmana informasi didapatkan dari alam itu sendiri, sehingga dalam menentukan sesuatu hal pada dua tahun lalu pihaknya telah merencanakan bahwa operasi Grasberg akan selesai 2013 mendatang.
"Hanya saja dalam perkembangannya, dari group geologi dan geotek telah menemukan suatu informasi baru bahwa akhirnya umur dari tambang berobah menjadi 2015," ujar Dani Hamdani kepada wartawan di Jayapura saat memberikan materi pada acara Seminar dan Kuliah Umum di Kampus Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Jumat , 22 Februari 2008 lalu.
Ditambahkan pihaknya telah dinyatakan mampu, baik dalam perencanaan tambang maupun sampai kepada opearasi sehari-hari. Saat ini sedang dilakukan pengeboran-pengeboran di Grasberg under ground mining termasuk mine plainer.
Kaya Deposit
Forbes Wilson dalam bukunya berjudul The Conquest of Copper Mountain lebih banyak menulis tentang perjuangan dan cara menaklukan Gunung Ertsberg. Bagi Wilson, Ertsberg bukan hanya sebuah gunung tapi keseluruhan kondisi geologis yang terkandung di wilayah Nemangkawi (sebutan Cartensz bagi orang Amungme). Wilson tertarik dengan Ertsberg karena merupakan singkapan permukaan dari endapan bijih tembaga yang lebih besar terkandung di dalam tanah.
Orang Amungme menyebut Ertsberg yaitu Yelsegel Ongopsegel yang berarti gunung berkilat menyerupai bulu burung Cenderawasih Hitam (Barotia civilata). "Karena itu tak heran kalau mereka percaya bahwa tempat itu sangat keramat dan sakral," tegas Arnold Mampioper dalam buku Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz. Kini Yelsegel Ongopsegel sudah tak berkilau lagi dan ditutup tahun 1988. Bahkan bekas galiannya sudah berubah menjadi sebuah lubang raksasa penampung air hujan.
Untuk mengenang Forbes Wilson kubangan air itu dinamakan Danau Wilson. Sedangkan Grasberg dalam bahasa Amungme disebut Tenogoma atau Emagasin karena banyak ditumbuhi rumput. Selanjutnya George A Maley dalam bukunya berjudul Grasberg menjelaskan bahwa Grasberg mengandung deposit sebesar 1,76 miliar ton batuan bijih dengan kadar rata-rata 1,11 persen tembaga atau sama dengan 35,2 milyar pon logam tembaga murni.
"Kandungan emasnya juga sangat tinggi yaitu sebanyak 49 juta try ons, sama dengan separuh jumlah seluruh emas yang diperoleh dari California selama demam emas dulu. Anehnya, deposit yang luar biasa besar ini terletak hanya tiga kilometer dari Ertsberg. Baru dibor 15 tahun setelah tambang disebelahnya dikerjakan" tutur Mealey. Lalu seberapa lamakah penambangan Grasberg berproduksi?
Menurut perhitungan George A. Mealey jika dengan tingkat produksi sekitar 150 ton per hari per pegawai diperlukan waktu 45 tahun untuk menambang cadangan terbukti dan terkira. Saat ini produksi Grasberg sudah berjalan selama 15 tahun. Berarti tinggal 30 tahun lagi tambang Grasberg digali dan diledakan. Waktu 30 tahun bisa saja berlalu dalam hitungan detik, karena kita terlalu asyik menambang. Apalagi Pemerintah Indonesia dalam dokumen AMDAL telah menyetujui kenaikan tingkat produksi sampai 300 ribu ton per hari.
Penggalian dan peledakan terus dilakukan tiada henti. Grasberg juga pernah memakan korban jiwa. Beberapa pekerja tewas dan diduga tertimbun longsoran di open pit mining Grasberg. Sebuah kecelakaan bisa juga terjadi pada sebuah perusahaan raksasa yang pernah meraih penghargaan Zero Accident.
Mealey menuturkan pengalamannya bahwa selama ia bekerja di dunia pertambangan baru kali ini menemukan cara baru menentang kekuatan alam yaitu dengan memotong ayam hitam lalu menyemburkan darahnya di sekitar lokasi kerja. Hasilnya tidak sia-sia, pekerjaan mulus dan tanpa hambatan. Bahkan dia mengusulkan teknik ini perlu diterbitkan dalam buku saku penambangan.
Longsor di Area Tambang
Salah siapa kalau mereka ikut mendulang berdampingan dengan perusahaan tambang terbesar di bumi Amungsa? Meski pemerintah kabupaten sudah memberikan beberapa pelarangan tanpa mengeluarkan perda tapi daya tarik logam mulia ini selalu menggiurkan. Bayangkan bisa menghasilkan berjuta-juta rupiah dalam hitungan minggu saja.
Meski telah berkali-kali terkena longsor dan memakan korban tetapi proyek pendulangan jalan terus. Bukankah serpihan kilauan emas sangat menjanjikan bagi mereka. Pasar sudah tersedia di Kota Timika, Ibukota Kabupaten Mimika untuk membeli satu gram emas bahkan bisa lebih dari itu.
Bukan hanya para pendulang saja yang terkena bencana dan korban longsoran. Oktober 2004 lalu di lokasi tambang Grasberg, tepat pukul 05.30 pagi WP terdengar suara gemuruh dari atas melungsur batuan tanah, dan lumpur menerjang dengan ganasnya. Dalam sekejap 13 anggota opeartion crew IV terbenam dalam 2,3 juta meter kubik materi longsor. Salah seorang sopir, Fredrik Rumere lolos dari terjangan maut.
Ia berhasil selamat sedangkan empat temannya sampai saat ini hilang ditelan material dan belum ditemukan. Bau mayat yang menyengat hidung mulai menyambar di sekitar lokasi kejadian dari timbunan tersebut.
Longsor terjadi di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg. Longsoran itu terjadi pada lokasi pertemuan batuan poker chip di zona lemah dan batuan instrusif dengan ketinggian 3.800 sampai 4000 kaki di atas permukaan laut. Lokasi tambang Grasberg terletak pada ketinggian 4200 meter sedangkan puncaknya mencapai 4.209 meter.
Kondisi kerja di Grasberg barangkali yang paling terberat di dunia tulis George A Mealey dalam bukunya berjudul Grasberg, sebab hujan dan kabut selalu datang setiap hari menciptakan kondisi rawan bagi keselamatan. Selain itu menelan biaya besar untuk pemeliharaan alat. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pemeliharaan jalan di Grasberg menelan biaya tiga kali lipat jika dibandingkan di tempat lain.
“Pada dasarnya tambang tidak pernah tutup, tetapi kabut tebal sangat membatasi jarak pandang, sehingga bagian tertentu dari tambang harus dihentikan operasinya selama 25 menit setiap harinya, yang berarti memperbesar biaya operasi,” tegas George Mealey.
Aktivitas penambangan PT Freeport di Tanah Papua dimulai sejak 19 April 1967 secara resmi membuka sayapnya di Irian Barat. Dua tahun sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dilakukan, perusahaan raksasa milik Amerika Serikat sudah menancapkan kukunya di tanah orang Papua. Kemudian 1973 Presiden Soeharto meresmikan penambangan perdana tambang tembaga di Gunung Ertsberg. Lubang bekas tambang Ertsberg kini menjadi Danau Wilson , sebagai penghormatan kepada Forbes Wilson, pemimpin ekspedisi Freeport 1960 saat Belanda masih bercokol di tanah Papua.
Kini Danau Wilson berfungsi sebagai persediaan air untuk operasi pabrik pengolahan serta membangkitkan tenaga listrik dengan kapasitas 2,5 megawatt. “Oleh karena itu perlu diusahakan agar lubang tambang Grasberg tidak terisi air pada saat yang terlalu dini, sehingga penirisan harus tetap dilakukan dengan baik,” tegas George A Mealey.