Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua

Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP

IKLAN PROMO : VIRTUOSO ENTERTAIN " NUMBAY BAND ", info selengkapnya di www.ykpmpapua.org

IKLAN PROMO : VIRTUOSO ENTERTAIN " NUMBAY BAND ", info selengkapnya di www.ykpmpapua.org
Info Foto : 1) Virtuoso Entertain bersama Numbay Band saat melakukan penampilan bersama Artis Nasional Titi DJ. 2) Saat penampilan bersama Artis Diva Indonesia, Ruth Sahanaya. 3) Mengiringi artis Papua, Edo Kondologit dan Frans Sisir pada acara "Selamat Tinggal 2012, Selamat Datang 2013" kerjasama dengan Pemda Provinsi Papua di halaman Kantor Gubernur Provinsi Papua, Dok 2 Jayapura. 4) Melakukan perform band dengan Pianis Jazz Indonesia. 5) Personil Numbay Band melakukan penampilan di Taman Imbi, Kota Jayapura. Vitrtuoso Entertain menawarkan produk penyewaan alat musik, audio sound system dan Band Profesional kepada seluruh personal, pengusaha, instansi pemerintah,perusahaan swasta, toko, mal, kalangan akademisi, sekolah, para penggemar musik dan siapa saja yang khususnya berada di Kota Jayapura dan sekitarnya, serta umumnya di Tanah Papua. Vitrtuoso Entertain juga menawarkan bentuk kerjasama seperti mengisi Acara Hari Ulang Tahun baik pribadi maupun instansi, Acara Wisuda, Acara tertentu dari pihak sponsor, Mengiringi Artis dari tingkat Nasional sampai Lokal, Acara Kampanye dan Pilkada, serta Acara-Acara lainnya yang membutuhkan penampilan live, berbeda, profesional, tidak membosankan dan tentunya.... pasti hasilnya memuaskan........ INFO SELENGKAPNYA DI www.ykpmpapua.org

31 January 2005

Papua : Dokumen Aspal Kayu Ilegal

(Majalah TEMPO Edisi 24-30 Januari 2005)
Kapal itu tertambat didermaga.diatas geladaknya, empat prajurit TNI AL, bersiaga dengan senjata ditangan. Mata mereka menghujam nanar kearah dek tatkala melihat Tempo melangkah kesitu. Jangan salah tebak! ini bukan tentara-tentara yang tengah berjaga di kapal perang atau patrloli laut. Ini suasana diatas MV Mirna Rijeka- sebuah kapal berbendera Kroasia yang telah beberapa bulan ini merapat di Pelabuhan Zamrud Utara, Tanjung Perak, Surabaya. Keperkasaan kendaraan laut berukuran 13.544 GT (gross tonnage) itu, seolah meredup ditangan para tentara itu. Begitu pula Saganic Milan, 65 tahun.

Nakhoda kapal kelahiran Vidovici, Kroasia, itu seperti mulai padam semangat hidupnya. “Saya stress disini. Jenuh dan ingin segera pulang kampung, “katanya dalam bahasa Inggris terbata-bata kepada Kukuh S Wibowo, reporter tempo di Surabaya. Tertambatnya Mirna diSurabaya bukan tanpa sebab.

Kapal Perang KRI Sutanto 887 menangkapnya di perairan teluk Wondama, Papua, pada 29 Agustus 2004. Ketika itu MV Mirna baru saja membuang sauh, setelah memuat lebih dari 15 ribu meter kubik kayu gelondongan jenis merbau. Namun komoditas bernilai miliaran rupiah itu tidak dilengkapi dokumen yang sah. Surat Ijin Berlayar (SIB) kapal asing tersebut juga dianggap bodong. “Atas dasar itu kami menangkapnya,” kata Komandan Pangkalan Utama TNI AL III Surabaya, Laksamana Pertama TNI Achmad Ichsan.

Kapal asal Kroasia itu lalu dibawa ke Tanjung Perak. Sejatinya, di Ambon, yang lebih dekat dari Papua ada pangkalan TNI AL, jadi mengapa mesti jauh-jauh ke Surabaya ? Achmad Ichsan punya penjelasan, “ Di Surabaya paling lengkap perangkat hukumnya, ada Kejaksaan Tinggi, ada Pengadilan Tinggi.”katanya (lihat wawancara dengan Achmad Ichsan : Dephut Sudah Kami Undang Untuk Rembukan). Sang Laksamana menambahkan, penyidikan tindak pidana tertentu tidak harus sesuai dengan tempat kejadian perkara (locus delicti), Maka meluncurlah Mirna dalam kawalan TNI AL ke Surabaya dan tiba disana pada 4 September 2004.

Apa daya penjelasan Achmad Ichsan tak bisa memuaskan semua orang, Deddy Blucher pengacara Saganic Milan antara lain, Deddy mengaku heran mengapa Mirna-kapal milik Istra Shipping Co. Ltd. Kingtown- harus dibawa ribuan kilometer dari tempat kejadian. Disekitar Papua kan juga ada juga pangkalan TNI AL,”katanya. Kejanggalan lain, menurut Deddy, Mirna ditangkap tak jauh dari tempat dia berlabuh. Jadi, kenapa tidak dicegah saat dipelabuhan itu (perairan teluk Wondama-red)?” dia melanjutkan.

Mirna Rijeka bukan satu-satunya kapal asing bermuatan kayu gelendongan yang ditangkap di Papua. Awal Desember 2003, KRI Tongkol menangkap MV Bravery Falcon di perairan Sorong. Seperti halnya Mirna –yang dilengkapi bendera Indonesia. Membawa 17,1 ribu meter kubik kayau merbau yang diduga hasil colongan. Kapal berukuran panjang 170 meter dan lebar 27 meter itu pun “diseret” ke Jakarta Utara. Nakhoda kapal Ngo Van Toan 45 tahun, dijatuhi hukuman dua tahun penjara.

Mirna Rijeka dan Bravery Falcon hanya contoh betapa kapal-kapal asing bebas merdeka mengangkut kayu curian. Lima tahun terakhir tercatat ada sejumlah kapal asing berbendera Indonesia yang ditangkap. Modusnya serupa : tak dibekali dokumen resmi yang sah (lihat yang tertangkap tangan). Sebagian yang ditangkap itu telah diadili, sebagian lagi dilepaskan kendati lambung kapalnya sarat oleh kayu tak berdokumen.

Lalu lintas perairan di beberapa daerah-daerah yang kaya kayu cukup ramai. Markus Marei, Kepala Kantor Pelabuhan Kelas V Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, mencatat dalam sebulan rata-rata 35 kapal keluar masuk pelabuhan. “Termasuk boat dan tongkang yang mengangkut kayu log,”katanya.

Penjarahan kayu itu menorehkan kerugian tidak hanya materi tetapi juga mempercepat ”lenyapnya” hutan Indonesia. Taruhlah rata-rata satu pohon volumenya 7 meter kubik dan rata-rata muatan kapal 15 ribu meter kubik. Maka ada 2.000 lebih pohon merbau yang ditebang dari hutan Papua sekali angkut. Dari nilainya, juga tidak kalah besar.”Harga ekspor kayu merbau itu US$ 450 (sekitar Rp 3,8 juta) per meter kubik,”kata Deddy.

Mengapa kapal asing itu begitu mudah berkeliaran di Indonesia ? Padahal berhelai-helai dokumen harus disiapkan untuk bisa dengan merdeka lalu lalang mengangkut kayu gelondongan. Dan semuanya perlu waktu. Diantaranya, surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH), surat kemudahan khusus keimigrasian (dahsuskim), dan surat izin berlayar (SIB). Prakteknya ? Saat ditangkap, MV Mirna tak dibekali SKSHH dan dahsuskim yang sah. Jadi mengapa Saganic Milan begitu berani membawa kayu log tanpa dokumen? “Semua persyaratan (berlayar-Red) sudah diurus oleh penyewa kami.

Kepada Tempo, Saganic menuturkan dia buang jangkar selama tiga hari di perairan Teluk Wondama untuk memuat kayu dari tempat penimbunan kayu setempat, sambil menanti kelarnya dokumen. Saganic sempat menelepon otoritas pelabuhan (Pelabuhan Wansior, Teluk Wondama-Red) agar segera menerbitkan dokumen pelayaran yang dia perlukan. Beberapa saat sebelum Mirna berlayar,”Ada kapal kecil membawa agen yang mengantarkan dokumen. Dan kami diperintahkan segera berlayar,”kata Saganic.

Baru saja berlayar menuju laut lepas, KRI Sutanto mencegatnya. Dokumen yang dibawa Saganic tidak valid alias bohong, dan Mirna pun segera di halau ke Tanjung Perak Surabaya. Deddy Blucher punya dugaan lebih jauh : dia curiga kapal Mirna Rijeka sengaja “diumpankan”. Lho, kok bisa ? Alasan Deddy, “bagaimana mungkin kapal itu dibiarkan berlayar tanpa diperiksa keabsahan surat-suratnya saat dia berlabuh? “Kecurigaan Deddy Blucher itu mengental karena saat saat MV Mirna hendak dicegat KRI Sutanto ada kiriman “dokumen susulan” dari pelabuhan. Istilahnya,”dokumen terbang”, yakni surat-surat yang sengaja disusulkan jika kapal menghadapi masalah perizinan.

Kisah dokumen terbang itu juga terjadi ketika MV Mirna merapat di Tanjung Perak. Menurut Saganic pihaknya didatangi orang yang mengaku bernama Lucas. Orang itu memberikan sejumlah dokumen dalam amplop tertutup. “Bawa ini, semua urusan akan beres,” Saganic menirukan kata-kata Lucas. Merasa bingung, Saganic mengontak Deddy. “Saya bilang ke klien saya jangan dibuka, biarkan dalam amplop tertutup,”kata Deddy.

Deddy Blucher kemudian menemui kliennya di Surabaya. Saat membuka amplop cokelat itu, betapa kaget pengacara yang biasa menangani kasus-kasus maritim ini. Salah satu dokukmen dalam amplop itu adalah SKSHH.

Dokumen SKSHH itu kemudian dilampirkan pihak penyidik Lantamal Surabaya sebagai dokumen perkara. Tapi Tempo menemukan sejumlah kejanggalan dalam ihwal tersebut (lihat Muatan Mirna Siapa yang Punya). Praktek pengiriman kayu tanpa dokumen- dan kemudian menyusulkan “dokumen terbang” jika muncul kesulitan-bukanlah hal baru.

Menteri Kehutanan M.S. Kaban dalam wawancara dengan Tempo menyebutkan praktek kejahatan penyelundupan kayu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun dengan berbagai variasi. Kasus “dokumen terbang” seperti yang MV Mirna (si nakhoda asing diberi pegangan dokumen susulan oleh “agen” untuk menyelamatkan muatan kayu) hanyalah salah satu variasi modus untuk mengeruk kayu gelendongan yang amat berharga. Meminjam kata-kata Kaban : “Ini kejahatan yang luar biasa terorganisir dengan melibatkan banyak sekali pihak. Boleh dikatakan semua institusi pemerintahan, kenegaraan itu dirusak oleh mereka. Kaban benar MV Mirna memang bukan yang pertama. Tengoklah kasus MV Africa. Kapal berbendera Panama itu ditangkap Polisi Airud Polres Sorong awal Januari 2002. Kapal ini memuat 14 ribu meter kubik kayu ramin tanpa dokumen yang sah. Namun saat sebagian muatannya diturunkan, kapal itu dilepaskan. Padahal, proses bongkar muat dilakukan dalam pengawasan Polisi. Sumber Tempo membisikkan ketika proses bongkar muat berlangsung, bisa jadi ada agen lihai yang “menerbangkan” dokumen yang diperlukan. Maka selamatlah MV Africa.

Kisah lain terjadi awal November 2001, saat itu TNI AL menangkap MV Mandarin Sea, MV Fonwa Star, dan MV Rong Cheng. Ketiganya di sergap saat melego jangkar di perairan Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Gagal menunjukan dokumen muatan yang sah, ketiga kapal itu digiring ke Jakarta dengan pengawalan yang ketat TNI AL. Dilambung kapal-kapal tersebut menumpuk 25 ribu meter kubik kayu. Taksiran harga kala itu Rp 50 miliar.

Namun jerih lelah prajurit TNI AL yang menjaga kapal itu selama tujuh bulan akhirnya sia-sia. Polisi yang kemudian mengambil alih kasus ini, justru mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), meski sebelumnya telah menyita kayu itu. Kepala Subdirektorat Lingkungan Hidup Korps Reserse Mabes Polri (saat itu), Kombes Kamaluddin Lubis, yang meneken SP3 tersebut. Ketika Tempo mengkonfirmasi soal ini, dia menolak menjawabnya. Jawaban datang dari Kepala Humas Polri saat itu, Inspektur Jenderal Saleh Saaf. Kata Saleh,”Alasan teknis yuridis menyebutkan kapal itu belum bergerak, selain kapal itu tidak tahu muatannya illegal atau tidak,:kata Saleh. Maka lepaslah ketiga kapal tersebut.

Keputusan itu membuat banyak pihak kecewa. Bagaimana mungkin kapal yang telah memuat kayu curian tak berniat mengangkutnya? Pertanyaan itu anatara lain diajukan Andison Nur Yasin, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Kehutanan.”Mungkin memang baru dalam taraf memuat, tapi untuk apa kayu itu di muat kalau tidak untuk diangkut?”katanya. Belakangan kayu itu akhirnya dilelang dengan harga jual Rp !,5 miliar.

Proses lelang kayu tampaknya juga bakal terjadi pada kasus MV Mirna. Mesti tak melibatkan Departemen Kehutanan, Pengadilan Negeri Surabaya menetapkan kayu milik Mirna itu bisa disita TNI AL. Anehnya dalam penetapan sita 28 september 2004 (bernomor 3226/IX/Pen.Pid/2004/PN SBY) disebutkan jumlah kayu log hanya 10,8 ribu meter kubik. Padahal, sehari sebelumnya, keluar hasil penilaian PT Sucofindo yang menyebut muatan kayu di MV Mirna bervolume 15,4 ribu meter kubik

Kasus Mirna telah diserahkan TNI AL ke Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur pada 22 September 2004. Sayang, penyerahan perkara itu tak disertai penyerahan barang bukti kayu merbau ribuan meter kubik.”Tanpa barang bukti, kami tidak bisa melakukan penyidikan,”kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Jawa Timur, Haris Sujoko. Sesuai dengan Undang-undang nomor 41 tahun 1999, tentang kehutanan yang berhak menyidik urusan kayu adalah penyidik pegawai negeri, yaitu BKSDA. Adapun kayu sitaan MV Mirna kini dalam pengawasan TNI AL.

Sumber Tempo membisikkan kepada wartawan mingguan ini bahwa ada perihal “rebutan hak penyidikan” dibalik kisah si Mirna (lihat muatan Mirna siapa yang punya), Sebab menurut dia, sejatinya pihak Departemen Kehutanan tetap dapat melanjutkan tanpa barang bukti. “Nanti kan bisa memakai surat hasil lelang sebagai barang bukti,” sumber itu menjelaskan. Jadi ?

Berebut atau tidak, bagi aparat yang tipis iman, muatan kayu “tak bertuan” di MV Mirna dan kapal-kapal senasib adalah “lahan” yang amat menggoda. Coba kita buat hitungan kasar saja : permeter kubik kayu merbau itu bernilai U$$ 450 (sekitar Rp 3,8 juta). Volume muatan Mirna yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya adalah 10.884 meter kubik. Sedangkan dalam surveinya, Sucofindo mencatat 15.448 ribu. Artinya ? Ada selisih sekitar hampir 5.000 meter kubik yang setara dengan Rp 19 miliar.

Itu belum dihitung perbedaan harga lelang kayu hutan-dari kasus Bravery Falcon silam-hanya sekitar Rp 1 juta meter per kubik. Jika dilelang nanti, dan pemenangnya akan mengekspor, bisa dibayangkan besarnya selisih harga ekspor (Rp. 3,8 juta) dengan harga dasar. Coba tebak,siapa yang bakal menikmati uang limpahan itu bila kayu akhirnya dilelang.