( Papua Pos, Jumat 04 Febuari 2005 )
Bertempat di ruang utama Pengadilan Negeri (PN) Sorong, Kamis (3/2) kemarin kembali di gulirkan sidang lanjutan kasus illegal logging dan kaburnya MV Africa Tahun 2001 lalu. Persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim, Marthen Thosuly, SH yang didampingi majelis hakim anggota masing-masing, Andy Asmuruf, SH dan Hebbin Silalahi, SH ini bermaterikan pemeriksaan saksi-saksi. Dua Jendral yang merupakan atasan para terdakwa yang disebut-sebut sebagai saksi kunci kasus ini yakni Brigjen Raziman Tarigan, saat ini menjabat sebagai Kapus Provost Mabes Polri dan Mayjen I Made Pastika, yang saat ini menjabat sebagai Kapolda Bali tidak dapat hadir dalam persidangan tersebut.
Di katakan Nikolaus B. Rondomo, SH selaku tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa ketidakhadiran Raziman Tarigan sebagai saksi karena yang bersangkutan melaksanakan tugas pengamanan sidang pelanggaran profesi (kode etik) di institusi Polri yang di gelar secara marathon di Mabes Polri. Dalam sidang pelanggaran profesi tersebut, sebanyak 18 perwira Polri baik perwira tinggi (pati), perwira menengah (pameng) dan perwira pertama (pama) disidangkan, sehingga saksi Raziman Tarigan ini tidak dapat menghadiri persidangan Faisal AN dkk kemarin
“Kami telah mendapat faksmile surat dari Mabes Polri perihal ketidakhadiran saksi ini (Raziman Tarigan-Red)” aku Kondomo. Sementara saksi lainnya seperti Mayjen I Made Mangku Pastika, serta saksi-saksi lainnya, hingga saat ini JPU, katanya belum mendapat jawaban. Tidak hadirnya Raziman Tarigan, dalam hal ini saksi memberi perintah langsung ke bawah kepada mantan Kapolres Sorong, AKBP , Drs. H. Faisal AN dan jajarannya saat itu, padahal jenderal ini disebut-sebut sebagai saksi kunci, membuat tim advokat masing-masing Muh. Syukur, SH , Lodius Tomasoa, SH, Aleksi Sasube, SH menyatakan keberatan itu, maka ketua mejelis hakim memrintahkan kepada penuntut umum untuk mengupayakan menghadirkan dua orang Jenderal tersebut menjadi saksi dalam sidang lanjutan yang rencananya akan di gelar, Senin (4/2) mendatang.
Prof, DR, Rudy Satrio Mukatarjo, SH,MH sebagai saksi ahli staf pengajar hukum pidana Universitas Indonesia dalam persidangan Fasial AN dkk kemarin dijadikan saksi ahli. Ketika Marthen P Thosuly SH selaku ketua majelis hakim menanyakan pendapatnya mengenai hukum pidana terhadap bawahan yang mengetahui dan menyetujui tindakan atasannya yang kemudian hari di nyatakan bersalah. Menurut saksi ahli ini bahwa kalau terjadi kesepakatan bahkan dari itu mendapatkan keuntungan, karena disini tidak berbicara hierarki dari bawah bahwa, maka disini turut serta melakukan tindak pidana. Maka suatu kesepakatan di katakan suatu tindak pidana,”jelasnya.
Ketua mejelis hakim lebih lanjut bertanya, bagaimana dengan MV Africa dan kayu log yang hilang, kalau ada kesengajaan untuk menghilangkan itu, bagaimana pendapat saudara saksi ahli? “Bukan menghilangkan, yang tepat dihilangkan, bapak hakim. Kalau memang benar-benar demikian, maka sudah memenuhi unsur pasal 221 KUHP ayat (1) dan (2). Tetapi yang menarik siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah. Bagaimana kalau saya diperintahkan menghilangkan. Nah itu aplikasi pasal 51 ayat (2), barang siapa yang mendapat perintah dari atasan yang berwenang kemudian ia melakukan, maka harus di hukum. Akan tetapi sepanjang itu memang bagian dari pekerjaannya dan itu merupakan perintah dari atasannya, maka tanggung jawab berada pada atasan tersebut, jelas Satrio memberi penjelasan panjang lebar secara berapi-api.
Sebaliknya kalau bawahan yang diberi perintah itu tidak beritikad baik karena ada atau mengharapkan adanya suatu keuntungan, kata saksi ahli ini, maka dia harus bertanggung jawab plus atasannya. Dikemukakan juga bahwa suatu hal yang aneh, bagaimana mungkin ada barang bukti kalau tidak ada tindakan penurunan barang. Sehingga dokumen atau surat yang menyatakan telah terjadi penurunan barang bukti dari kapal tersebut, padahal faktanya tidak demikian maka itu dapat dikatakan surat atau dokumen palsu. Dimana surat ini atau dokumen hanya untuk mengelabui saja. Seakan-akan diturunkan padahal tidak demikian.
“Oh, jelas palsu karena faktanya tidak demikian, dimana dikatakan surat penurunan barang bukti padahal barang buktinya tidak di turunkan. Kalau memang tidak benar sesuai fakta yang ada maka itu merupakan aplikasi dari pasal 263 tentang pemalsuan surat. Kalau kayu tidak diturunkan itu dikatakan dokumen palsu. Tapi ini harus dikembangkan apakah hal ini adalah inisiatif dari terdakwa atau dari atasannya. Kalau tidak demikian, bukan inisiatif bawahan, maka ia tidak harus bertanggung jawab, melainkan yang memberi perintah dari atas,”urainya.
Usai memberi keterangan dalam persidangan sesi pertama dengan terdakwa I Made Putu Mahasena, Anshar Djohar danWidodo, pada sidang sesi kedua, dengan menghadiri Faisal AN dan Aceng Danda saksi ahli yang juga ketua Indonesian Polce Watch (IPW) ini juga dimintai keterangannya. Terhadap Faisal AN menurutnya bahwa secara yudis prodentia sudah memberi mandat pada bawahannya, maka dia tidak bertanggung jawab lagi atas segala sesuatu yang terjadi pada saat itu. “Waktu itu, kan saudara Faisal sementara menunaikan ibadah haji atau umroh. Sepanjang sudah memberi mandat kewenangannya kepada yang lain, maka hal itu tidak lagi menjadi tanggung jawabnya bila terjadi sesuatu saat sementara memberi mandat tersebut. Kecuali, kalau mandat itu tidak di berikan dan terjadi sesuatu, maka dia harus mempertanggungjawabkannya,”terangnya. (FP/gaf)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP