(www.bintangpapua.com, 20-11-2012)
SENTANI - Minggu siang (18/11) sekitar pukul 13.00-15.00 WIT bertempat di para-para adat yaitu di Obhe Kampung Kleublouw, JFC (Jayapura Facebook Community) Phuyaka Institute yang peduli lingkungan menggelar pertemuan dengan para ondoafi, ondofolo, kepala kampung, kepala suku dan masyarakat.
Koordinator Bidang Lingkungan Hidup pada JFC Phuyaka Institute, Hendrik Pallo menuturkan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk membicarakan persoalan penimbunan tanah akibat pelebaran jalan yang dianggap merusak lingkungan.
“Selain kerusakan lingkungan, dalam pertemuan kali ini pun dibicarakan terkait dengan hak-hak masyarakat yang belum diselesaikan oleh pihak perusahaan dalam hal ini kontraktor yang mengerjakan proyek pelebaran jalan di sekitar wilayah Kampung Harapan,” ujarnya kepada Bintang Papua, Minggu (18/11) usai pertemuan.
Dijelaskannya, meskipun hanya dihadiri oleh sekitar 22 orang dan berlangsung selama 2 jam saja, dihasilkan 7 kesepakatan yang nantinya direncanakan akan dijadikan alasan kenapa masyarakat menutup kegiatan pelebaran jalan yang dilakukan oleh perusahaan. “Beberapa ondofolo yang hadir diantaranya Markus Ansaka selaku Ondofolo Kampung Kleubouw, Elvis Doce selaku Kepala Suku Doce, Atli Hengga selaku Kepala Suku Hengga dan beberapa ondofolo serta kepala suku lainnya,” urainya.
Dipaparkannya, 7 kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan tersebut diantaranya pertama perusahaan diminta untuk tidak membuang timbunan di pinggiran Danau Sentani, kedua perusahaan diminta juga tidak membuang timbunan di area pemukiman warga, ketiga perusahaan diminta untuk tidak membuang timbunan di areal hutan sagu dan keempat perusahaan perlu untuk menyelesaikan hak-hak masyarakat yang belum diselesaikan.
“Hak-hak masyarakat yang belum diselesaikan ini diantaranya pembayaran ganti rugi tanah adat dan pembayaran rumah-rumah masyarakat yang telah dibongkar,” tegasnya.
Kelima, Pemerintah Kabupaten Jayapura diminta untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) guna melindungi hak-hak masyarakat adat, keenam pipa-pipa air yang berada di lokasi pelebaran jalan dan saat ini ada beberapa yang bocor diminta untuk diperbaiki dan dipindahkan ke tempat yang lebih aman serta terakhir diminta adanya pertemuan antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah untuk membicarakan persoalan ini.
“Rencananya kami akan menutup kegiatan pelebaran jalan pada Selasa (20/11) jika tidak ada respon terkait dengan tuntutan kami,” tukasnya. (dee/aj/LO2)
SENTANI - Minggu siang (18/11) sekitar pukul 13.00-15.00 WIT bertempat di para-para adat yaitu di Obhe Kampung Kleublouw, JFC (Jayapura Facebook Community) Phuyaka Institute yang peduli lingkungan menggelar pertemuan dengan para ondoafi, ondofolo, kepala kampung, kepala suku dan masyarakat.
Koordinator Bidang Lingkungan Hidup pada JFC Phuyaka Institute, Hendrik Pallo menuturkan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk membicarakan persoalan penimbunan tanah akibat pelebaran jalan yang dianggap merusak lingkungan.
“Selain kerusakan lingkungan, dalam pertemuan kali ini pun dibicarakan terkait dengan hak-hak masyarakat yang belum diselesaikan oleh pihak perusahaan dalam hal ini kontraktor yang mengerjakan proyek pelebaran jalan di sekitar wilayah Kampung Harapan,” ujarnya kepada Bintang Papua, Minggu (18/11) usai pertemuan.
Dijelaskannya, meskipun hanya dihadiri oleh sekitar 22 orang dan berlangsung selama 2 jam saja, dihasilkan 7 kesepakatan yang nantinya direncanakan akan dijadikan alasan kenapa masyarakat menutup kegiatan pelebaran jalan yang dilakukan oleh perusahaan. “Beberapa ondofolo yang hadir diantaranya Markus Ansaka selaku Ondofolo Kampung Kleubouw, Elvis Doce selaku Kepala Suku Doce, Atli Hengga selaku Kepala Suku Hengga dan beberapa ondofolo serta kepala suku lainnya,” urainya.
Dipaparkannya, 7 kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan tersebut diantaranya pertama perusahaan diminta untuk tidak membuang timbunan di pinggiran Danau Sentani, kedua perusahaan diminta juga tidak membuang timbunan di area pemukiman warga, ketiga perusahaan diminta untuk tidak membuang timbunan di areal hutan sagu dan keempat perusahaan perlu untuk menyelesaikan hak-hak masyarakat yang belum diselesaikan.
“Hak-hak masyarakat yang belum diselesaikan ini diantaranya pembayaran ganti rugi tanah adat dan pembayaran rumah-rumah masyarakat yang telah dibongkar,” tegasnya.
Kelima, Pemerintah Kabupaten Jayapura diminta untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) guna melindungi hak-hak masyarakat adat, keenam pipa-pipa air yang berada di lokasi pelebaran jalan dan saat ini ada beberapa yang bocor diminta untuk diperbaiki dan dipindahkan ke tempat yang lebih aman serta terakhir diminta adanya pertemuan antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah untuk membicarakan persoalan ini.
“Rencananya kami akan menutup kegiatan pelebaran jalan pada Selasa (20/11) jika tidak ada respon terkait dengan tuntutan kami,” tukasnya. (dee/aj/LO2)