(www.tabloidjubi.com, 24-11-2012)
Jayapura, (23/11) — Kawasan Pegunungan Cycloop, yang merupakan sumber air bagi Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura sedianya dijaga. Sejak 20 tahun lalu, berbagai upaya untuk menyelamatkan pegunungan Cycloop, tetapi belum menuai hasil yang memuaskan.
Karena itu, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay yang bekerja
sama dengan Yayasan Lingkungan Hidup (YALI) Papua dan UNDOC (Information
on drug control and crime prevention) melakukan sosialisasi dengan
warga asal Pegunungan yang ada di Kota ini.
“Kita mendiami wilayah Port Numbay, kita wajib menjaga. Ini rumah kita maka kita wajib menjaga,” kata George Awi, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay, kepada wartawan usai membuka ‘Sosialisasi Program Partisipasi Publik Untuk Pelestarian Cagar Alam Cycloop di Wilayah Kota Jayapura’ di Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Jumat (23/11) siang.
LMA Port Numbay menilai, potensi dan kapasitas penduduk yang mendiami wilayah Kota Jayapura sangat memadai untuk mengatasi masalah pegunungan Cyploop.
Setidaknya ada tiga masalah, yang dilihat LMA Port Numbay sebagai dampak dari kerusakan wilayah sekitar kawasan Cycloop, meliputi aspek budaya, lingkungan dan sosial politik.
Dari aspek sosial budaya, kawasan Cycloop merupakan hak ulayat Port Numbay. Perkembangan pemukiman sosial, yang berkembang pada relasi sosial, di sekitar lereng Cycloop memang tidak mudah dihentikan, pun oleh pemerintah.
Selain itu, dari aspek lingkungan, akibat perkebunan yang dibuka warga di sekitar kawasan itu, kawasan penyangga lereng berkurang, rentan terhadap longsor, dan berkurangnya debit air.
LMA Port Numbay juga melihat dari aspek sosial politik, di mana, terlihat adanya ‘saling tuding’ terhadap biang kerusakan kawasan ini. Adanya saling tuding, menurut LMA Port Numbay, justru merembes pada stigmatisasi perusak hutan.
Dalam sosialisasi yang melibatkan penduduk kota Jayapura asal pegunungan, yang hampir pasti mendominasi sekitar kawasan pegunungan kota ini, LMA Port Numbay dan YALI berupaya merangkul warga untuk, paling tidak secara bersama mencari solusi demi menyelamatkan kawasan sumber air ini.
LMA Port Numbay, dalam rilis yang diterima tabloidjubi.com, melalui sosialisasi ini, menawarkan solusi agar mendapatkan legitimasi kultural, memberikan kepastian hukum bagi pemilik ulayat kawasan Cycloop, mendorong keterlibatan public dan melakukan upaya substitusi terhadap pola pertanian warga yang mendiami sekitar kawasan itu.
Direktur YALI Papua, Bas Wamafma mengatakan, dengan merangkul warga asal pegunungan, pihaknya berupaya untuk bekerja sama dalam rangka menjaga kawasan ini.
Salah satu tokoh pemuda asal Port Numbay, Rudi Mebri mengatakan, pencemaran kawasan Cycloop merupakan tangisan dan jeritan sesama warga yang mendiami kota ini. Karena itu, Rudi mengajak warga kota ini untuk bahu-membahu menjaga kawasan ini.
“Mari lihat lingkungan ini sebagai pusat kehidupan kami sehingga budaya dan kultur itu akan hidup bersama kami,” ajak Rudi Mebri. (Jubi/Timo Marten)
Jayapura, (23/11) — Kawasan Pegunungan Cycloop, yang merupakan sumber air bagi Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura sedianya dijaga. Sejak 20 tahun lalu, berbagai upaya untuk menyelamatkan pegunungan Cycloop, tetapi belum menuai hasil yang memuaskan.
Kerusakan Cycloop (Jubi/ist) |
“Kita mendiami wilayah Port Numbay, kita wajib menjaga. Ini rumah kita maka kita wajib menjaga,” kata George Awi, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay, kepada wartawan usai membuka ‘Sosialisasi Program Partisipasi Publik Untuk Pelestarian Cagar Alam Cycloop di Wilayah Kota Jayapura’ di Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Jumat (23/11) siang.
LMA Port Numbay menilai, potensi dan kapasitas penduduk yang mendiami wilayah Kota Jayapura sangat memadai untuk mengatasi masalah pegunungan Cyploop.
Setidaknya ada tiga masalah, yang dilihat LMA Port Numbay sebagai dampak dari kerusakan wilayah sekitar kawasan Cycloop, meliputi aspek budaya, lingkungan dan sosial politik.
Dari aspek sosial budaya, kawasan Cycloop merupakan hak ulayat Port Numbay. Perkembangan pemukiman sosial, yang berkembang pada relasi sosial, di sekitar lereng Cycloop memang tidak mudah dihentikan, pun oleh pemerintah.
Selain itu, dari aspek lingkungan, akibat perkebunan yang dibuka warga di sekitar kawasan itu, kawasan penyangga lereng berkurang, rentan terhadap longsor, dan berkurangnya debit air.
LMA Port Numbay juga melihat dari aspek sosial politik, di mana, terlihat adanya ‘saling tuding’ terhadap biang kerusakan kawasan ini. Adanya saling tuding, menurut LMA Port Numbay, justru merembes pada stigmatisasi perusak hutan.
Dalam sosialisasi yang melibatkan penduduk kota Jayapura asal pegunungan, yang hampir pasti mendominasi sekitar kawasan pegunungan kota ini, LMA Port Numbay dan YALI berupaya merangkul warga untuk, paling tidak secara bersama mencari solusi demi menyelamatkan kawasan sumber air ini.
LMA Port Numbay, dalam rilis yang diterima tabloidjubi.com, melalui sosialisasi ini, menawarkan solusi agar mendapatkan legitimasi kultural, memberikan kepastian hukum bagi pemilik ulayat kawasan Cycloop, mendorong keterlibatan public dan melakukan upaya substitusi terhadap pola pertanian warga yang mendiami sekitar kawasan itu.
Direktur YALI Papua, Bas Wamafma mengatakan, dengan merangkul warga asal pegunungan, pihaknya berupaya untuk bekerja sama dalam rangka menjaga kawasan ini.
Salah satu tokoh pemuda asal Port Numbay, Rudi Mebri mengatakan, pencemaran kawasan Cycloop merupakan tangisan dan jeritan sesama warga yang mendiami kota ini. Karena itu, Rudi mengajak warga kota ini untuk bahu-membahu menjaga kawasan ini.
“Mari lihat lingkungan ini sebagai pusat kehidupan kami sehingga budaya dan kultur itu akan hidup bersama kami,” ajak Rudi Mebri. (Jubi/Timo Marten)