(www.radarsorong.com, 03-04-2008)
SORONG- Besarnya nilai gugatan yang diajukan kuasa hukum masyarakat adat pulau Manuram -senilai Rp 298 Miliar- tidak membuat PT Anugrah Surya Pratama (ASP) ciut menghadapi gugatan tersebut.
Setelah berkas perkara gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Sorong, kuasa hukum PT. ASP Max Mahare, SH mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum menerima risalah panggilan,kapan sidang gugatan tersebut akan digelar.
Menghadapi gugatan yang diajukan tim kuasa hukum masyarakat ulayat di pulau Manuram yang terdiri dari ketua dan sejumlah anggota IKADIN Sorong, kata Max Mahare tinggal menunggu pengujian materi perkaranya di Pengadilan.
Jika yanga digugat atas masalah ganti rugi tanah yang belum dibayarkan, kata Max Mahare seharusnya penggugat memahami tentang Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Soal ganti rugi dalam masalah pertambangan, dikatakan hanya ada 2 yakni ganti rugi menyangkut segala sesuatu yang ada di atas permukaan tanah dan segala sesuatu yang melekat di tanah tersebut.
Dicontohkannya jika proyek yang dikerjakan di atas tanah merusak rumah warga tentunya memang harus dibayarkan ganti ruginya. Yang jadi pokok persoalan UU tidak mengatur tentang ganti rugi areal tanah. Semuanya kata Max tertera dengan jelas pada pasal 25 dan pasal 26. Dimana setelah kegiatan penambangan berakhir maka tanah tersebut dikembalikan kepada masyarakat. “
“Jadi tidak bisa begitu saja, kalau tanah diganti rugi lagi otomatis pulau Manuram itu berpindah ke tangan perusahaan. Bisa- bisa perusahaan menjual pulau itu kepada perusahaan asing lainnya,”jelas Max yang dikenal berteman akrab dengan ketua dan anggota IKADIN Sorong lainnya.
Menyinggung masalah ganti rugi kepada pemilik ulayat dam tanah adat dikaitkan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus, kata Max, konteks pengertian Otsus itu yang bagaimana ?. “Itu yang mau saya yang mau tanyakan dalam UU Otonomi Khusus, dimana UU terbaru saja menyangkut persoalan ganti rugi disebutkan dalam pengaturan hal tersebut biasanya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah dan kepentingan umum. Nah itu masalah pokok persoalannya ada di situ,”tandasnya.
Soal pembayaran adat dan ulayat bagi warga setelah kegiatan perusahaan pertambangan dimulai, ditegaskan Max bahwa sesuai UU Pertambangan, khususnya menyangkut kuasa pertambangan, dimana perusahaan terlebih dahulu mendapat ijin kuasa pertambangan dari pemerintah daerah dalam hal ini nupati. Setelah mendapatkan ijin kuasa pertambangan, kewajiban perusahaan adalah bertemu dan melakukan sosialisasi.
Langkah tersebut kata Max telah dilalui oleh PT ASP. Sebelum beroperasi di pulau Manuram, perusahaan telah mensosialisasikan segala kegiatannya sampai dengan membayar uang ketok pintu.
Lebih jauh Max juga mempertanyakan sikap seorang pemilik hak ulayat yang mengajukan gugatan karena menurutnya yang bersangkutan sering datang ke kantor PT ASP.
“Yang jelas untuk perkara digugat kita tinggal pembuktiannya saja dan saya akan menunjukan wakil daripada pemilik hak adat dan ulayat yang menerima duit. Jadi nanti kita uji sajalah. Kalau memang benar ada gugatan, yah kita jalani saja. Karena itu merupakan hak masyarakat,”ujar Max Mahare.
Yang dimaksudkan dengan pengujian benar dan tidaknya gugatan dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 yang mengatur tentang ganti rugi lahan. Yang dipertanyakan apakah proses ganti rugi dalam UU ada hubungan dengan bidang pertambangan. “Contohnya saja kasus PT Freeport. Apakah pernah dilakukan ganti rugi terhadap areal tanah seluas proyek yang sudah berjalan puluhan tahun,”ujarnya bernada tanya. (boy)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP