(www.radarsorong.com, 07-04-2008)
SORONG – Bupati Raja Ampat melalui melalui Asisten I Drs Yance Mambrasar menegaskan, dalam hal pembagian porsi untuk hasil tambang didasarkan pada kesepakatan bersama (MoU) antara masyarakat adat, pihak perusahaan dan pemerintah daerah.
Dan menurutnya, kesepakatan ini bukan hanya berlaku untuk satu perusahaan tambang seperti PT ASP tetapi juga untuk perusahaan tambang nikel lainnya seperti PT Karunia Alam Waigeo dan PT Waigeo Mineral Mining yang akan beroperasi di kabupaten Raja Ampat.
Hal ini dikatakan Yanca Mambrasar menanggapi sorotan dari kuasa hukum masyarakat yang mengaku pemilik tanah adat pulau Manuram, distrik Waigeo Utara atas pembagian fee kepada Pemda Raja Ampat. Ini tercermina dalam upaya hukum warga setempat yang menggugat PT ASP dan Pemda Raja Ampat.
Seperti diberitakan sebelumnya dalam porsi pembagian hasil ekspor tambang Nikel dari PT ASP terinci Rp 3000/ton untuk Pemda, Rp 2000/ton untuk Condev dan Rp 1000/ton untuk masyarakat adat pemilik hak ulayat di pulau Manuram. “Rp 3.000/ton itu adalah sumbangan pihak ketiga untuk pembangunan Raja Ampat secara keseluruhan, Rp 2.000/ton dipakai untuk membangun daerah lingkar tambang,”jelasnya.
Dikatakan, masyarakat adat (pemilik hak ulayat) jika dilihat secara umum, dari tiga porsi tersebut mendapatkan semuanya. “Masyarakat adat pemilik hak ulayat kalau kita lihat secara umum kan dia dapat semua, baik yang 3 ribu, juga yang 2 ribu. Kenapa, karena itu (Rp 3000 perton) dipakai untuk membangun Raja Ampat seluruhnya termasuk masyarakat adapt pemilik lokasi tambang itu. Jadi kalau ada kata-kata mereka dapat 1000 cukup, tidak usah dapat 2000, itu salah,” tutur mantan Kadistrik Aimas ini.
Ditanyai darimana angka 3000, 2000 dan 1000 perton tersebut didapatkan, dikatakannya jika itu diperoleh dari hasil musyawarah, yang selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat.
“Sosialisasi seharusnya kita lakukan bulan November tapi karena kesibukan pemerintah daerah dalam hal ini dinas-dinas terkait, akhirnya diundur Desember, pak Bupati mengharapkan Desember sudah bisa direalisasi sebagai kado natal dan tahun baru buat masyarakat, tetapi itu juga tidak sempat, dan baru teralisasi setelah pak Bupati balik dari Australia,”terang Yance Mambrasar.
Terkait dengan harapan masyarakat agar jatah Rp 1000/ton dinaikkan, kata Yance Mambrasar tidak tertutup kemungkinan MoU dapat ditinjau kembali. “Kita lihat kalau Rp 1000/ton itu membawa dampak positif bagi masyarakat, kita bisa naikkan itu, tapi kalau Rp 1000 itu malah membawa masalah, kita akan lihat lagi MoU-nya,”tandas Yance Mambrasar.
Terkait dengan adanya masyarakat yang mengaku pemilik hak ulayat yang menggugat PT ASP secara perdata yang menguasakannya ke IKADIN Cabang Sorong, Yance Mambrasar mengemukakan terkait dengan hak-hak adat ini pemerintah daerah amat berhati-hati.
“Kita harus cari tahu siapa yang betul-betul berhak. Makanya kenapa sampai kita terlambat lakukan pembayaran tersebut karena itu tadi, kita buang isu dulu kalau pemerintah mau bayar baru kita lihat respon masyarakat di sana, kalau kita cepat bikin MoU lalu lakukan pembayaran, bisa salah alamat. Masalah hak-hak adat ini kita sangat hati-hati sekali,”imbuhnya,
Sumbangan pihak ketiga untuk pemerintah daerah dengan besaran Rp 3000/ton kata Yance Mambrasar bahwa itu dipakai untuk membangun Raja Ampat secara keseluruhan. Terkait dengan royalty ekspor nikel, kata Yance Mambrasar jika itu nantinya diatur pemerintah pusat.
“Jadi untuk sementara ini baru yang porsi Rp 3000/ton sumbangan pihak ketiga tersebut yang Pemda terima, bagi hasil tambang dari pemerintah pusat belum karena ini baru berjalan,”jelasnya. (ian)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP