( Artikel, Penulis : Fredrik Dusai )
Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) komersial yang bernilai jual tinggi. Bentuk produk gaharu yang merupakan hasil alami dari kawasan hutan yang dapat berupa cacahan, gumpalan atau bubuk. Nilai komersial gaharu sangat ditentukan oleh keharuman yang dapat diketahui melalui warna serta aroma kayu bila dibakar, masyarakat mengenal kelas dan kualitas dengan nama gubal, kemedangan dan bubuk. Selain dalam bentuk bahan mentah berupa serpihan kayu, saat ini melalui proses penyulingan dapat diperoleh minyak atsiri gaharu yang juga bernilai jual tinggi.
Kata “gaharu” sendiri ada yang mengatakan berasal dari bahasa Melayu yang artinya “harum” ada juga yang bilang berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat (tenggelam) sebagai produk damar, atau resin dengan aroma, keharuman yang khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara pembakaran (fumigasi) dan pada upacara ritual keagamaan. Gaharu dengan naloewood”, merupakan substansi aromatik (aromatic resin) berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tertentu yang sudah dikenal sejak abad ke-7 di wilayah Assam India yang berasal dari jenis Aqularia agaloccha rotb, digunakan terbatas sebagai bahan pengharum dengan melalui cara fumigasi (pembakaran).. Namun, saat ini diketahui gaharupun dapat diperoleh dari jenis tumbuhan lain famili Thymeleaceae, Leguminaceae, dan Euphorbiaceae yang dapat dijumpai di wilayah hutan Cina, daratan Indochina (Myanmar dan Thailand), malay Peninsula (Malaysia, Bruinai Darussalam, dasn Filipina), serta Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, maluku, Mataram dan beberapa daerah lainnya).
Di Indonesia gaharu mulai dikenal sejak tahun 1200-an yang ditunjukkan oleh adanya pertukaran (barter) perdagangan antara masyarakat “Palembang dan Pontianak” dengan masyarakat Kwang Tung di daratan China.
Menurut I.H. Burkill, perdagangan gaharu Indonesia sudah dikenal sejak lebih dari 600 tahun yang silam, yakni dalam perdagangan Pemerintah Hindia Belanda dan Portugia. Gaharu dari
Potensi produksi gaharu yang ada di Indonesia berasal dari jenis pohon Aquilaria malacenis, A. filarial, A. birta, A. agalloccba Roxb, A. macrophylum, Aetoxylon sympetalum, Gonystylus bancanus, G. macropbyllus, Enkleia malacensis, Wikstroemia androsaemofolia, W. tenuriamis, Gyrinops cumingiana, Dalbergia parvifolia, dan Excoccaria agalloccb). Dari banyaknya jenis pohon yang berpotensi sebagai penghasil gaharu tersebut, hanya satu diketahui penghasil gaharu yang berkualitas terbaik dan mempunyai nilai jual yang tinggi dibanding dengan pohon lainnya yaitu Aquilaria malacensis. Karena dampak tingginya nilai jual terhadap jenis komersial menjadikan perburuan terhadap Aquilaria malacensis sangat tinggi, sehingga sesuai Konvensi CITES (Convention On International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Nopember 1994 di Florida, Amerika Serikat, memasudkan jenis penghasil gaharu ini dalam kelompok Apendix II CITES.
Puncaknya perdagangan ekspor gaharu di
Gambaran Umum Gaharu
Gaharu adalah salah satu produk hasil hutan elite dalam bentuk gumpalan, cacahan, serpihan atau bubuk yang memiliki kualifikasi produksi yang terdiri kelas GUBAL, KEMEDANGAN DAN BUBUK/ABU, di dalamnya masing-masing produk terkandung “oleo resin” dan “chromoe” yang menghasilkan bau atau aroma khas, dalam perdagangan dikenal sebagai “agarwood, englewoo atau aloewood”.
Sebelumnya, ekspor gaharu dari
Syukurlah, pada tahun 1994/1995 mulai dirintis usaha pembudidayaan gaharu di Propinsi Riau, sebuah perusahaan pengekspor gaharu, PT. Budidaya Perkasa telah menanam Aquilaria malaccensis seluas lebih dari 10 hektar. Selain itu Dinas Kehutanan Riau juga menanam jenis yang sama dengan luas 10 hektar di Taman Hutan Raya Syarif Hasyim.
Selanjutnya pada tahun 2001-2002 beberapa individu atau kelompok tani mulai tertarik juga untuk menanam jenis pohon penghasil gaharu. Contohnya, uasaha yang dilakukan oleh para petani di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi, yang menanam gaharu dari jenis Aquilaria malacensiss. Di Desa tersebut, samapi akhir tahun 2002 terdapat sekitar 116 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya telah mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit gaharu. Adapun Litbang Kehutanan mempunyai lahan percobaan di daerah Labuhan (Banten). Kemudian Universitas Mataram juga telah mengembangkan tanaman jenis Gyrinops Verstegii.
Meski hasil yang didapat belum diketahui secara pasti, usaha ini merupakan suuatu langkah yang patut didukung oleh semua pihak.
Kandungan dan Manfaat Gaharu
Dari hasil analisis kimia di laboratorium, gaharu memiliki enam komponen utama yaitu furanoid sesquiterpene diantaranya berupa a-agarofuran, b-agarofuran dan agarospirol. Selain furanoid sesquiterpene, gaharu yang dihasilkan dari jenis Aquilaria malaccensis asal
Pemanfaatan gaharu sampai saat ini masih dalam bentuk bahan
Dengan seiringnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu pun bukan hanya berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Raintree(1996), gaharu bisa dipakai sebagai obat anti asmatik, anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan. Dalam khasana etnobotani di Cina, digunakan sebagai obat sakit perut, perangsang nafsu birahi, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, ginjal tumor paru-paru dan lain-lain. Di Eropa, gaharu ini kabarnya diperuntukkan sebagai obat kanker. Di India, gaharu juga dipakai sebagai obat tumor usus.
Di samping itu di beberapa Negara seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat sudah mengembangkan gaharu ini sebagai obat-obatan seperti penghilang stress, gangguan ginjal, sakit perut, asma, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan limfa. Bahkan Asoasiasi Eksportir Gaharu Indonesia (ASGARIN) melaporkan bahwa Negara-negara di Eropa dan
Prospek Gaharu Di Indonesia
Kebutuhan akan ekspor gaharu di
Dengan memperhatikan kuota permintaan pasar akan komoditas gaharu yang terus meningkat maka pembudidayaan gaharu pun memiliki prospek yang cukup tinggi dalam upaya untuk mempersiapkan era perdagangan bebas di
Papua mungkin di pikirkan untuk tempat pembudidayaan sekarang. mungkin sekarang pemanfaatan pembudidayaan kurang karena masih hijaunya hutan,tetapi ada saat papua akan menjadi tempat yang tandus? kalau sekarang tidak di pikirkan. sebuah wacana dalam pandangan ke depan?