(www.cenderawasihpos.com, 22-07-2008)
Perlu Kelonggaran dari Pemda dan Adanya Payung Hukum
(Pengusaha HPH dan Industri Lokal Terkadang Dipojokkan)
Pengusaha Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan industri kayu mengalami dilematis alias mati suri lantaran tidak bisa menjual kayu lognya, baik keluar Papua maupun ke industri kayu lokal, demikian juga kesulitan industri kayu lokal dalam memperoleh bahan baku, sehingga hal ini tentu akan mengganggu investasi di bidang kehutanan di Papua. Lalu bagaimana solusinya dan harapan mereka untuk bangkit kembali?
Laporan Rambat S Handoyo, Jayapura
HPH dan industri kayu lokal ini, sebenarnya merupakan satu mata rantai dalam investasi di bidang kehutanan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apalagi, Gubernur Papua, Barnabas Suebu SH meminta agar HPH memiliki industri kayu lokal di Papua setelah melarang keluarnya kayu log dari Bumi Cenderawasih.
Hanya saja, komitmen Gubernur Papua dalam menumbuhkan industri kayu lokal ini, sejauh ini belum seperti yang diharapkan pelaku usaha, baik HPH maupun industri kayu yang telah ada.
Ketua ISWA Papua, Daniel Gerden mengatakan komitmen Gubernur Papua untuk menumbuhkan industri kayu lokal ini, harus didukung oleh semua pihak. Meski demikian, untuk menarik investasi dari luar Papua ini, tidak segampang membalik telapak tangan, namun harus dilihat beberapa faktor dalam merangsang atau menarik investasi tersebut, agar dapat menanamkan modalnya di Papua, termasuk adanya dukungan pemerintah daerah.
"Memang perlu dukungan dan perhatian serius dari pemerintah daerah, apalagi pengusaha hanya ingin memperoleh kepastian berusaha, karena tanpa ini niat para investor untuk berinivestasi di Papua tentu akan berpikir seribu kali," kata Daniel.
Apalagi, pihaknya sudah sering bertemu dengan investor dari luar yang menanyakan kondisi investasi di Papua. "Kami sudah keliling keluar, hampir dikatakan mustahil menanamkan investasinya di Papua jika bukan pelaku investor yang telah ada di Papua. Kalau ada yang bilang mau datang mau datang itu hanya retorika saja," jelasnya.
Apalagi, HPH dan industri kayu yang ada ini sudah bertahun-tahun menggelutui bisnis ini di Papua, sehingga investor yang ada ini perlu diperlakukan yang baik oleh pemerintah daerah, apalagi jika investor yang ada disia-siakan tentu saja investor lain yang tentu mencari masukan tentang kondisi investasi di Papua ini akan mengurungkan niatnya dan semakin sulit investor baru yang akan menanamkan modalnya di bidang kehutanan ini.
Daniel mengatakan, soal tata niaga kayu ini, baik pengiriman keluar maupun ke industri hampir sama, baik untuk kayu harganya mahal maupun murah. Padahal, tidak ada kayu yang tidak bisa dijual, apalagi di daerah industri di Jawa semua produk hutan mulai dari kayu log, hingga sisa gergajian dapat diolah. Namun, di Papua diakui mengalami kesulitan, karena di Papua masih banyak industri dari sisi infrastruktur masih sangat terbatas, sehingga memerlukan biaya tinggi, belum lagi fasilitas dan antara satu industri dengan industri lain berjauhan sehingga tidak saling link antara satu dengan yang lain menyebabkan costnya tinggi dan membuat tidak bisa kerja.
Harapan pelaku industri dan HPH, dengan adanya kebijakan Gubernur Papua tersebut, kata Daniel, industri yang ada dan pembangunan investasi yang sementara berjalan didukung baik dari segi kemudahan maupun ada kebijakan-kebijakan khusus dari pemerintah daerah sehingga bisa berjalan.
"Jika HPH-nya tidak bisa jual kayu, pasti industrinya tidak bisa dia bangun. Contohnya HPH Memberamo Alas Mandiri yang punya industri PT Sinar Wijaya, namun HPH Memberamo Alas Mandiri tidak bisa menjual kayu untuk membangun industrinya, sehingga tidak jalan. Mestinya, HPH Memberamo Alas Mandiri ini sudah ada niat membangun industri perlu diberi kelonggaran dulu untuk bisa menjual kayu log, maka kalau tidak bisa mati termasuk industrinya. Perlu diberi tenggang waktu sedikit, supaya produksi HPH bisa dijual untuk mensupplay industrinya," paparnya yang diiyakan oleh Ketua Komda HPHI Papua, Sudirman.
Untuk mengatasi permasalahan ini, lanjut Daniel, perlu diatur tata niaga dan mekanismenya, secara tersendiri, sehingga jika dikhawatirkan penjualannya ke mana-mana termasuk keluar Papua, maka perlu tim khusus pemda untuk melakukan pengawasan sehingga HPH dan pelaku industri bisa berjalan.
"Tanpa itu, maka tidak akan mungkin bicara investasi di bidang kehutanan di Papua, jika tidak ada kemudahan-kemudahan dan kebijakan, atau paling tidak investor lama diperkuat, karena dagang kayu ini semua sudah tahu baik yang baru datang maupun yang lama bahwa kayu yang dijual harganya sama, sehingga tidak mungkin bersaing dengan kita, jika bersaing dari permodalan boleh kita kalah, namun soal pekerjaan di lapangan belum tentu," ujarnya.
Diakui Daniel, pengusaha HPH dan industri kayu lokal ini, terkadang dipojokkan, padahal disisi lain kehadiran HPH dan industri kayu di Papua ini memberikan dampak yang positif bagi masyarakat dan pemerintah daerah, terutama dalam penyerapan tenaga kerja termasuk tenaga kerja dari putra asli Papua yang sangat besar dan pembukaan kawasan baru.
Kontribusi HPH terhadap pemekaran di Papua sangat besar, karena selama ini HPH berperan dalam pembukaan kawasan dan pembangunan jalan hingga ratusan kilometer di Papua, misalnya jalan dari Jayapura - Sarmi, dari Demta ke Lereh yang buka HPH, di Mappi, Bouven Digoel dan Keerom serta lainnya.
"Kabupaten Keerom ini, ada karena dulu ada HPH yakni Hanurata. Jadi, dimana ada pemekaran daerah disitu dulu pasti ada HPH, yang membuka jalan dan membuka keteresolasian serta membuka pemukiman baru," ujarnya.
Dari segi penyerapan tenaga kerja, ungkapnya, di sektor industri kayu ini sangat besar, bisa mencapai ribuan orang, misalnya PT Sinar Wijaya dengan kapasitas terpasang lebih dari 6000 meter kubik kayu jika mampu bangkit maka akan menyerap tenaga kerja sekitar 2500 orang karyawan. Namun, karena saat ini masih masih perbaikan tentu mereka membutuhkan fresh money lagi, sedangkan dari kredit perbankan sulit.
Untuk industri kapasitas terpasang dibawah 6000 meter kubik rata-rata bisa menyerap tenaga kerja langsung mencapai 40 orang atau bisa mencapai 100 orang jika industri tersebut bisa berjalan 24 jam, belum termasuk penyerapan tenaga kerja tidak langsung.
Sudirman menambahkan dengan kehadiran HPH dan industri ini dapat menumbuhkan perekonomian rakyat di Papua dan mendorong perputaran uang yang cepat di daerah.
Untuk itu, kata Sudirman, bagi HPH meminta waktu untuk membangun industri seperti keinginan Gubernur Papua. "Selain perlu waktu membangun industri ini, kami minta agar diberi kelonggaran dimana harapan kami bisa menjual keluar kayu log sementara waktu yang dapat dijadikan modal kerja, karena jika tidak bisa menjual tentu akan mengalami kesulitan cash flow, padahal untuk membangun industri ini membutuhkan fresh money," jelasnya.
Soal di Papua Barat dimana pelaku usaha yang tidak berteriak soal ini, Diakui Daniel, karena di Papua Barat ada kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah daerah, sedangkan di Papua tutup total tidak bisa mengirimkan kayu log keluar Papua.
Baik Daniel Gerden maupun Sudirman mengatakan untuk mengatasi ini perlu solusi dimana pemda harus memberikan kelonggaran, terutama bagi perusahaan baik HPH maupun Industri kayu yang sudah betul berinvestasi, termasuk saat ini sedang mempersiapkan investasi dalam industri perkayuan di Papua.
Soal pertemuan dengan Gubernur Papua dengan para pengusaha HPH dan industri kayu di Gedung Negara beberapa bulan lalu, dinilai masih belum cukup. "Itu baru kulitnya, namun belum sampai hitung-hitungannya," katanya.
Selain keberpihakan dan dukungan dari pemda, juga perlu adanya payung hukum terhadap investor khususnya yang bergerak di bidang kehutanan ini untuk dapat mendukung terciptanya iklim yang kondusif dalam investasi.
"Kami mengharapkan adanya perdasus kehutanan agar segera dituntaskan dan disyahkan DPRP, karena sudah 4 tahun namun sampai detik ini belum ada kabar. Yang jelas harus ada payung hukum bagi kami, " imbuh Daniel yang diiyakan Sudirman. *
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP