(www.suarapembaruan.com)
Hutan di Papua dibabat untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit berskala besar. Kemungkinan dalam waktu 10 tahun mendatang, peta emisi karbon di Indonesia akibat deforestasi akan meluas ke Papua.
Pemerintah dinilai telah melakukan kebohongan soal eksploitasi hutan di Papua. Di satu sisi, pemerintah menyuarakan untuk melindungi hutan yang tersisa di Indonesia seperti di Papua. Namun, di sisi lain, hutan justru dibabat untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit berskala besar di pulau yang terletak di ujung timur negara ini.
Menurut Ketua Dewan Adat Biak, Papua, Yan Pieter Yarangga, kepada SP, di Jakarta, Sabtu (28/6), sumber daya alam penting dan strategis bagi masyarakat Papua, serta dimanfaatkan secara penuh, terutama bagi penduduk asli Papua. Mereka adalah masyarakat yang berasal dari tujuh wilayah adat di pulau tersebut. Dengan membabat hutan, mereka harus bertahan hidup dengan susah payah.
"Papua bukan hanya bagian dari Indonesia, tapi juga bagian dari dunia. Kalau Papua dirusak, ibarat satu bagian tubuh terluka, seluruhnya akan terasa sakit. Masih ada generasi baru yang akan hadir dan mereka pun membutuhkan hutan. Jangan membohongi rakyat Papua," ujarnya.
Hal senada dikemukakan Sekretaris Eksekutif Forum Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua J Septer Manufandu. Dia mengatakan, pemerintah harus belajar dari pengalaman penyelenggaraan pembangunan kehutanan di tempat lain, seperti di Kalimantan.
Menurutnya, pengelolaan hutan di Papua yang dilakukan pemerintah tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Justru apa yang dilakukan pemerintah menimbulkan konflik horizontal dan vertikal yang sering menjadi pemicu konflik berdimensi pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
"Potensi sumber daya alam seperti keanekaragaman hayati di Papua sangat berlimpah. Kekayaan alam itu perlu dilestarikan. Masyarakat Papua tidak antipembangunan. Namun, pembangunan jangan sampai menghancurkan flora dan fauna serta tatanan nilai budaya yang ada," katanya.
Dewan Adat Yapen-Papua Alex Sanggenafa turut menjelaskan, Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan berdampak diskriminasi terhadap hak-hak masyarakat Papua. Tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa sumber daya alam itu milik rakyat Papua.
"Harus ada kebijakan secara hukum yang mengakui bahwa sumber daya alam adalah milik masyarakat adat Papua, kemudian dapat dikelola bersama dengan pemerintah. Diharapkan juga ada Perda khusus tentang masyarakat hukum adat dan pengelolaan sumber daya alam, sehingga manusia serta hutan dilindungi dan diselamatkan," tutur Alex.
Ancaman Serius
Papua memiliki kawasan hutan belantara tropis terbesar dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang tinggi. Hutan di Papua seluas 40,5 juta hektare (ha) merupakan salah satu kawasan hutan alam terbesar yang masih utuh di dunia. Konversi hutan alam di Papua telah menjadi ancaman serius bagi keutuhan hutan di tempat itu.
Ancaman terbesar datang dari ekspansi perkebunan kelapa sawit. Minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) masih menjadi salah satu komoditas unggulan di Indonesia. Hal ini berakibat kebutuhan pembukaan lahan kelapa sawit dilakukan secara besar-besaran.
Data Dinas Perkebunan Papua tahun 2008 menunjukkan, saat ini terdapat 23 perusahaan perkebunan yang beroperasi di Papua dengan total luas 2.463.063 ha. Pemerintah Provinsi Papua sedang merencanakan kerja sama dengan investor untuk membuka perkebunan kelapa sawit baru seluas tiga juta ha.
"Kemungkinan dalam waktu 10 tahun mendatang, peta emisi karbon di Indonesia akibat deforestasi akan berubah dari bagian barat Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan, ke bagian timur negara ini, yakni Papua," kata Jago Wadley dari Environmental Investigation Agency (EIA).
Kaji Ulang
Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah perlu dikaji ulang. Perkebunan kelapa sawit lebih baik dilakukan di areal hutan yang sudah rusak akibat kebakaran atau illegal logging. Saat ini, pemerintah terus menaikkan kapasitas perkebunan kelapa sawit untuk biodiesel, seperti yang dilakukan di Papua
"Di samping bersaing dengan produksi CPO (crude palm oil) untuk minyak goreng bagi kebutuhan pangan, perluasan kebun kelapa sawit sebenarnya tidak baik karena monokultur. Apalagi di Papua sumber biodiversitasnya sangat tinggi," ujar Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Bambang Prasetya, kepada SP, di Jakarta, Sabtu (28/6).
Bambang mencurigai merebaknya konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dia mensinyalir, kayu dari hutan yang dikonversi dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, namun belum diketahui secara pasti untuk apa. Menurutnya, pembukaan perkebunan kelapa sawit akan mempengaruhi stabilitas harga minyak goreng.
Ia menjelaskan, tahun ini di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Iran mulai melirik potensi laut untuk memproduksi biodiesel. "Jangan daratan terus yang dieksploitasi untuk memproduksi biodiesel, sehingga menimbulkan kerusakan hutan. Belakangan ini terdapat potensi mengembangkan biodiesel dari algae (ganggang laut)," katanya.
Bambang menyarankan, pemerintah sebaiknya sedikit bersabar menunggu hasil penelitian uji kelayakan ganggang laut sebagai biodiesel. Dua minggu produksi sudah bisa dilihat hasilnya. Jika layak, Indonesia sebaiknya menggunakan potensi laut tersebut karena hasilnya lebih dari kelapa sawit. Untuk memproduksi pun menggunakan pantai serta areal tambak yang rusak.
"Bahan baku pangan jangan dijadikan biodiesel. Penelitian yang menggunakan bahan pangan hendaknya dihindarkan. Pemerintah harus melirik bahan lain untuk biodiesel, dan harus dipercepat pengerjaannya dengan menggunakan potensi laut. Penggunaan kelapa sawit untuk memproduksi biodiesel harus hati-hati," ucapnya.
Dia menyatakan tidak setuju jika lahan hutan dikonversikan. Menurutnya, jika berbicara mengenai kelapa sawit, yang dipikirkan hanya dari sisi ekonomi serta keuntungannya saja. Tidak dipikirkan dampaknya di masa mendatang bagi kelangsungan biodiversitas serta kehidupan manusia. [AMT/S-26]