(www.cenderawasihpos.com, 21-07-2008)
Pemprov Papua melarang penjualan semua jenis kayu gelondongan atau kayu log yang berasal dari dalam hutan Papua untuk dibawa keluar. Kebijakan Pemprov Papua ini, mendapatkan dukungan semua pihak, apalagi Pemprov berupaya menumbuhkan industri kayu lokal di Papua dan menata kembali HPH yang ada. Bagaimana kondisi industri kayu local dan HPH saat ini?
Laporan Rambat SH, Jayapura
Hampir 1 tahun ini, Pemerintah Provinsi Papua memberlakukan larangan kayu log keluar dari dalam hutan Bumi Cenderawasih baik untuk diperdagangkan antar pulau maupun di ekspor ke negara lain.
Bahkan, larangan ini diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat Nomor 163 Tahun 2007 dan Nomor 16 Tahun 2007 tanggal 18 September 2007 lalu, yang mulai berlaku efektif 2 Januari 2008 lalu.
Sebelumnya, wacana larangan keluarnya kayu log dari Papua ini, dilontarkan Gubernur Papua, Barnabas Suebu SH saat konferensi PBB tentang Perubahan Iklim yang berlangsung di Bali.
Terobosan yang dibuat Pemprov Papua di bidang kehutanan ini, berdasarkan atas pertimbangan bahwa penjualan kayu log keluar Papua selama ini belum memberikan nilai tambah kepada daerah dan kebijakan ini merupakan komitmen Gubernur Papua, Barnabas Suebu dalam menyikapi pembangunan bidang kehutanan dan masyarakat lokal diharapkan dapat menikmati hasil dari pengolahan kayu, berupa penyerapan tenaga kerja dan tumbuhnya industri lokal.
Namun, sejauh ini larangan penjualan kayu log dan upaya untuk menumbuhkan industri local ini, belum bisa terwujud sepenuhnya, meski sebelumnya pelaku industri kayu lokal optimis terhadap kebijakan Pemprov Papua untuk menumbuhkan industri kayu lokal ini.
Bahkan, industri sempat bernafas lega karena mudah mendapatkan pasokan bahan baku dari HPH, tetapi kini kembali mengalami problema dilematis baik pengusaha HPH dan industri kayu hingga memasuki Juli 2008 ini.
Disisi lain, industri yang ada saat ini justru tidak bisa mendapatkan bahan baku kayu dari HPH, sedangkan disisi lain, HPH sendiri tidak bisa menjual kayu log ke industri, karena masih rumitnya tata niaga kayu di Papua. Baik HPH maupun industri ini, merupakan satu mata rantai investasi di bidang kehutanan yang tidak dapat dipisahkan.
Ketua ISWA (Indonesian Swammil Wood Working Association) atau Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia Papua, Ir. Daniel Gerden mengakui kesulitan yang dialami para pelaku industri perkayuan tersebut.
"Memang kami saat ini mengalami posisi yang dilematis soal perkayuan ini, apalagi kami sebagai pelaku industri kayu lokal di Papua, justru kesulitan mendapatkan bahan baku kayu, jika ada kayu harganya tidak cocok untuk industri," ujarnya Daniel Gerden didampingi Ketua Komda HPHI (Himpunan Pengusaha Hutan Indonesia) Papua, Sudirman kepada Cenderawasih Pos di Prima Garden, Abepura, Sabtu (19/7) akhir pekan kemarin.
Menurutnya, HPH sudah melakukan aktivitasnya di hutan, namun tidak bisa menjualnya. Jika sebelumnya, HPH ini menjual kayu log ke luar Papua karena dari sisi efisiensi, harga yang bersaing dan daya beli industri di Jawa cukup menjanjikan, termasuk ke luar negeri.
Daniel mengungkapkan industri terpasang di Papua khusus mengerjakan atau mendapatkan pasokan kayu log sebagai bahan baku, namun saat ini mengalami kesulitan.
Berdasarkan data ISWA Papua, tercatat ada 28 industri kayu yang ada di Papua, dimana hampir sebagian besar membutuhkan bahan baku kayu log khususnya jenis merbau.
Sementara ini, kayu log yang menjadi primadona adalah jenis merbau, sedangkan baik jenis meranti-merantian dan kayu campuran kesulitan dijual, kecuali sekarang kayu log campuran (mix) diperuntukkan industri plywood, tetapi hanya ada 2 perusahaan di Papua yakni PT Wapoga di Biak dan PT Korindo di Merauke.
Di Papua Barat hanya ada 1 industri kayu saja di Sorong yang menampung kayu log dari seluruh HPH yang ada di Papua Barat, sedangkan dari Papua dibawa ke Papua Barat tentu tidak mungkin.
Akibatnya kesulitan yang dialami ini, ungkap Daniel, saat ini dari 28 industri yang ada di Papua, tinggal 8 industri saja yang masih aktif, namun kini kesulitan mendapatkan bahan baku.
"Industri kayu di Papua saat ini, ibarat jalan hidup segan mati tak mau, atau tahun ini jalan belum tentu tahun depan jalan lagi. Yang jelas, tahun ini industri kayu yang ada di Papua semua tiarap. Kenapa? Karena memang kekurangan bahan baku," jelasnya.
Disisi lain, lanjut Daniel, bahan baku kayu log yang ada di HPH saat ini justru cukup banyak, namun untuk membeli dari HPH, pelaku industri kayu tidak bisa menjangkau dimana dari sisi harga jual tidak terjangkau oleh industri oleh industri, sebab karena industri harus mengeluarkan biaya operasional yang tinggi akibat dari infrastruktur yang belum memadai di Papua, apalagi harga BBM yang naik cukup memberatkan.
Ia mencontohkan, untuk memindahkan kayu log dari satu tempat HPH ke industri, membutuhkan biaya yang cukup besar, apalagi kebanyakan HPH ini berjauhan dengan industri, dimana hampir semua industri di Papua, berada di Kabupaten dan Kota Jayapura, 1 di Nabire dan 1 di Merauke.
Daniel mengungkapkan saat ini, ada sekitar 70 ribuan meter kubik kayu log khususnya jenis merbau yang ready stok ada di HPH, namun tidak bisa dijual ke pasar baik ke luar Papua. "Hanya dijual untuk industri kayu," ujar Sudirman membenarkan pernyataan Daniel.
Jadi, ujar Daniel, kapasitas industri yang mengerjakan kayu log merbau masih sangat minim, sehingga daya serap dari HPH juga, boleh dikatakan sampai saat ini belum terealisasi, karena segi kecocokan harga, infrastruktur dan yang paling utama dari sisi tata usaha kayu yang masih belum nyambung.
"Kira-kira jika kita angkut pakai dokumen apa, karena itu sudah pakai jalan darat atau jalan pemerintah, kalau lewat logging nanti disalahkan lagi, termasuk dari pelabuhan ke industri tidak boleh, padahal di Surabaya tidak apa-apa. Ini hal-hal yang perlu dibicarakan," uijarnya.
Disisi, pemerintah daerah menghendaki ada investasi baru masuk di Papua, namun sampai semester I 2008 ini, kelihatannya belum ada satupun investor baru tersebut melakukan investasi di Papua, kecuali ada satu investor yang sementara melakukan perbaikan mesinnya yakni PT Sinar Wijaya Plywood Industri di Serui, eks Kodeko.
Ketua Komda HPHI Papua, Sudirman mengatakan para pengusaha HPH pada prinsipnya mendukung kebijakan Gubernur Papua yang melarang keluarnya log dari Papua.
Ketua Komda HPHI (Himpunan Pengusaha Hutan Indonesia) Papua, Sudirman menambahkan pada prinsipnya pihaknya sangat mendukung kebijakan Gubernur Papua yang melarang kayu log keluar Papua dan akan menumbuhkan industri di Papua. "Hanya waktu untuk membangun industri ini butuh waktu," ujarnya.
Hanya saja, saat ini para pengusaha HPH juga mengalami dilematis, karena tidak dapat menjual kayu lognya keluar dan hanya untuk industri kayu. Namun, sampai saat ini, industri yang ada di Papua belum maksimal dapat menyerap kayu di HPH tersebut, bahkan kini nyaris tidak ada sehingga saat ini banyak kayu log yang ada di HPH.
"Kita ada stok kayu, dari HPH misalnya di Selatan Papua yang produknya non merbau di perusahaan kami ada stok 15 ribu. Siapa yang mau membeli kayu kami disana? Sampai sekarang 1 batang kayupun belum terjual selama 2 tahun ini," jelasnya.
Kejadian ini, kata Sudirman, tentu membuat pengusaha HPH tidak mau mengalami kerugian. Untuk itu, para pengusaha HPH berusaha membangun industri di Papua, hanya saja ini tidak membutuhkan waktu hanya 2 - 3 bulan saja.
Ia mencontohkan industri PT Sinar Wijaya yang melakukan rehap saja terhadap industrinya, membutuhkan waktu yang lama, dimana 8 bulan lebih, apalagi bagi industri baru yang akan dibangun. Bagaimana solusi dan harapan mereka mengatasi ini, ikuti edisi berikutnya. (bersambung)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP