(www.cenderawasihpos.com, 30-01-2008)
Jayapura, Keinginan memajukan daerah selalu ada pada masing-masing kita, namun keputusan yang diambil untuk membangun terkadang hanya meninggalkan cerita sedih dan air mata.
Tidak sedikit dusun sagu yang hanya tinggal cerita, karena telah ditumbuhi banyak gedung besar. Sisa-sisa pohon sagu masih dapat kita jumpai juga di tepi jalan utama ketika menyusuri ruas jalan Kabupaten Jayapura, yang memasuki Sentani - Depapre dan Genyem.
Sagu dikenal sebagai bahan makan pokok sebagian suku-suku asli di Jayapura, dalam acara penting Papeda (bubur dari tepung sagu, red) merupakan salah satu menu khusus yang disajikan. Beberapa restaurant (rumah makan) terkadang menyiapkan Papeda sebagai tawaran menunya. Selain itu bagi industri makanan dan kue dalam skala Home Industry (Industri Rumah Tangga) di Jayapura menggunakan sagu sebagai bahan dasar dalam usahanya.
Kebutuhan Sagu untuk Jayapura dapat dipenuhi, dari kampung-kampung yang tersebar di sekitar Kabupaten Jayapura, diantaranya Maribu, Depapre, Kemtuk, Kemtuk Gresi dan Genyem.
Namun bila kita membaca Buku Jayapura Dalam Angka 2002 (BPS, 2002 ) yang diterbitkan oleh Pemda Kabupaten Jayapura data Sagu ternyata tidak terekam. Hal ini cukup mengejutkan dan mengundang pertanyaan apakah sagu belum dianggap sebagai potensi yang punya nilai komoditi atau karena kemampuan produksinya masih dalam skala kecil sehingga Pemkab Jayapura sendiri belum melirik potensi ini untuk dikembangkan ?
Padahal, Kabupaten Jayapura dalam prioritas pembangunan pada wilayah pembangunan I (satu) dan II (dua), juga diarahkan pada sektor perdagangan, industri, pariwisata dan pertanian tanaman pangan. Ketika sagu ditempatkan sebagai salah satu komoditas, maka sagu pun diharapkan turut memberi kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemkab Jayapura.
Untuk mendorong pemanfaatan potensi sagu yang ada, semua berpulang pada itikad baik Pemkab Jayapura. Yang mana para penghasil sagu di kampung-kampung perlu diberdayakan sebab potensinya ada di kampung. Beberapa tokoh di kampung Maribu, meminta perhatian Pemkab agar selain menyediakan mesin pemarut sagu untuk mengurangi beban kerja, perlu juga dukungan lain berupa perlindungan dengan aturan, agar adanya bentuk keadilan dalam perdagangan (jual - beli) sagu, mulai dari Produsen - Penadah sampai kepada Konsumen.
Harapan ini tidaklah berlebihan sebab di Maribu, masih ada penghasil tepung sagu yang mengandalkan tekhnologi tradisionalnya untuk menokok sagu. Dari pengalaman mereka, dalam tempo satu minggu penokokan sagu secara tradisional hanya mampu menghasilkan rata-rata 4 - 6 karung tepung sagu dengan kemampuan muat 25 kg (100 - 150 kg, tepung sagu basah).
Memang tak dapat disangkali, dari sisi waktu, banyak hari yang dibutuhkan tetapi dari segi kwalitas dan jumlah tepung yang dihasilkan, pengolahan secara tradisional jauh lebih baik. Tetapi, harga beli rata-rata sama yaitu antara Rp. 80.000,- sampai Rp. 100.000,- . Dari hasil penjualan sagu, biasanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi lainnya termasuk biaya kesehatan dan menyekolahkan anak.
Perda Pemda Jayapura No. 3 tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu yang telah diterbitkan, mengapa tidak dijadikan sebagai salah satu acuan membangun daerah khususnya sektor per-sagu-an, sebab pada Bab IV yang membahas Pemanfaatan dan Pengelolaan pada pasal 6 (1) dengan jelas menyebutkan "Hutan sagu dapat dijadikan sebagai obyek wisata dan atau obyek penelitian", sesungguhnya sagu mempunyai sisi nilai ekonomis lain selain untuk konsumsi rumah tangga dan industri rumah tangga. Potensi tersedia, kapasitas dimiliki, fasilitas ada, ... tunggu apa lagi? (tin)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP