(Alamku, Edisi 38 Desember 2007, www.cenderawasihpos.com)
ISU Pemanasan Global pertama kali diangkat oleh sebuah tulisan ilmiah Arrhenius 1896 di Philosophical Magazine and Journal of Science. Disebutkan, ada indikasi kuat dari peningkatan gas buang CO2 menuju pemanasan Bumi, Gas buang itu terutama dihasilkan dari konsumsi energi dan proses industri di pabrik. Setelah hampir satu abad kemudian penduduk bumi mulai menyadari kebenaran hipotesa tersebut dan membuat suatu traktat protocol yang dikenal sebagai Protokol Kyoto pada musim gugur tahun 1997, Protokol tersebut mewajibkan negara-negara industri untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), antara lain Karbon dioksida (CO2) sebanyak 5,2% dibawah kadar yang mereka lepas pada tahun 1990 mulai tahun 2008 hingga 2012. Dan sesuai kesepa-katan, pernjanjian ini akan berlaku apabila telah diratifikasi oleh minimal 55 negara. Pada tanggal 16 Juli 2004, Rusia menutup lembaran tanda tangan dan sekaligus memberi arti traktat ini mulai mengikat secara hukum.
Pengertian akan isu Pemanasan Bumi dan Perubahan Iklim telah meningkat tajam dalam dua dekade ini, setelah para pemerhati lingkungan dan para pakar melalui perjuangan panjang dan propaganda besar-besaran. Tetapi tidak mudah dalam mengimplementasikan penurunan suhu bumi yang kian hari makin panas. Sejatinya, disebabkan oleh kegiatan manusia sendiri yang secara besar-besaran mengeruk alam sedemikian rupa, tidak mengelola sampah secara bijaksana dan secara boros menggunakan energi. Pemanasan Global penyebab utamanya adalah emisi gas rumah kaca (GRK)-karbon dioksida dalam jumlah besar keudara yang kemudian menggangu lapisan ozon dalam menyaring sinar ultraviolet matahari dan mengakibatkan meningkatnya suhu bumi manjadi semakin panas. Peningkatan suhu bumi ini, menyebabkan terjadinya perubahan iklim, tanah menjadi kering, debit air menurun, lapisan es mencair sehingga meningkatkan tinggi permukaan air laut, serta muncul dan berkembangnya berbagai penyakit yang mengancam kehidupan manusia.
Hemat Energi
Karbon dioksida (CO2), akhir tahun ini menjadi sesuatu yang menggemparkan, karena olehnya manusia menjadi terancam dari tempat hidup satu-satunya Bumi. Tetapi dalam kenyataan, manusia sulit hidup terpisah dari Karbon karena merupakan elemen mendasar dalam aktifitas kehidupannya. Namun manusia adalah mahluk sosial yang bijak, yang dapat mengupayakan penggunaan secara seimbang; yaitu karbon yang dibuang setelah digunakan sama dengan atau mendekati dengan jumlah yang diambil.Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan energi organik yang ramah lingkungan sebagai sumber bahan dasar, atau dengan melakukan penanaman pohon untuk upaya karbon netral. Banyak juga saran dan pembelajaran, yaitu dengan mengurangi penggunaan AC dengan cara mendisain rumah berventilasi lebih banyak, sistim pencahayaan yang baik, agar mengurangi penggunaan energi listrik yang banyak sumbernya merupakan penghasil karbon dioksida. Secara nyata inilah yang dapat disumbangkan oleh kalangan rumah tangga dalam merespon Pemanasan Global dan mencegah perubahan iklim.
Program Pembangunan
Kerusakan lingkungan bukanlah buatan alam atau kriman Tuhan, tetapi merupakan buah tangan kita sendiri. Strategi dan pendekatan Pem-bangunan yang kita kelolapun akhirnya gagal memenuhi tiga kriteria mendasar dalam pengelolaan ekologi:Pertama, kita membiarkan pemanfaatan “sumber daya alam terbarukan” melebihi laju regene-rasinya. Misalnya, hutan kita eksploitasi habis-habisan sambil mengabaikan rehabilitasi dan penghijauan kembali.Kedua, kita membiarkan laju penipisan sumber daya tak ter-barukan sambil tak menimbang pengembangan sumber daya subtitusinya. Dalam koteks inilah minyak bumi kita eksploitasi sambil alpa menyiapkan sumber energi alternative jauh-jauh sebelumnya. Ketiga, kita membiarkan produksi limbah yang melebihi kemampuan asimilasi lingkungan. Sampah kita produksi tanpa menimbang kemampuan lingkungan menyerap dan mengasimilasikannya.Dengan kekeliruan mendasar dan struktural yang kita pelihara dalam rentang waktu yang lama, kerusakan lingkunganpun berjalan dalam deret ukur; sementara kemampuan kita memperbaiki kerusakan itu berjalan dalam deret hitung. Untuk itu diperlukan upaya perbaikan kebijakan dan penguatan kelembagaan lingkungan hidup pada semua level sebagai pondasi bagi perubahan yang lebih bersifat struktural dan berdimensi jangka panjang. Insentif Perbaikan Hutan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), skema penurunan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, yang selain dapat mendatangkan insentif bagi pemberdayaan masyarakat miskin di sekitar hutan, juga dapat mengkoreksi perbaikan tata ruang kehutanan.Insentif yang diberikan negara-negara maju bagi negara berkembang yang mampu mencegah deforestasi dan degradasi hutan, tetapi bersifat sukarela, bergantung pada kesiapan tata ruang dan perencanaan kehutanan.
Dalam hal ini, Indonesia masih termasuk yang belum beres; data peruntukan kawasan dari pemerintah daerah banyak yang belum akurat.Dari hasil pengamatan citra landsat tahun 2000, diketahui bahwa deforestasi peride 1997-2000 mencapai rata-rata 2,83 juta hektar per tahun untuk lima pulau besar termasuk Papua. Dan dari data tahun 2000-2003 turun mejadi di bawah 1,5 juta hektar pertahun.Negara maju penghasil emisi karbon terbesar berkewajiban memberikan kompensasi atas upaya penyelamatan hutan di negara berkembang melalui mekanisme CDM (Clean development mechanism).
Indonesia sebagai negara kelima terbesar yang berpotensi menyumbang 10 persen kredit karbon dunia, diperkirakan memiliki potensi CDM disektor energi sebesar 25 juta ton CO2 , dari kegiatan penghijauan dan reboisasi seluas 32,5 hektar mampu menyerap 5,5 giga ton. Namun hal ini harus diupayakan dengan perjuangan dan kerja keras.
Kebijakan Pelarangan Ekspor Log dari Papua
Kebijakan terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua telah di susun dalam moratorium bersama an-tara Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH dan Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri. Keseluruhan dimaksudkan untuk melindungi hutan Papua yang luasnya mencapai 42.224.840 hektar. Peraturan bersama kedua Provinsi yang bernomor 163 tahun tentang peredaran hasil hutan. Hutan seluas itu merupakan penyumbang oksigen terbesar bagi planet bumi.Di masa lalu telah terjadi kesalahan yang dibuat oleh bangsa dan pemerintah, kenyataanya menunjukkan hutan tropis hancur, namun tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi pemerintah terlebih bagi masyarakat Papua. Hutan yang menjadi tempat penyimpan air dan penghasil oksigen bagi mahluk hidup dan tempat hidup flora dan fauna, hancur dan menimbulkan malapetaka, serta rakyat tetap miskin.Karena keprihatinan tersebut, maka sejak tanggal 18 September 2007, peraturan bersama kedua gubernur tersebut ditanda tangani. Antara lain berisi tentang pelarangan ekspor log maupun mengeluarkan log antar pulau atau keluar Papua. Dan yang paling mendasar adalah adanya prinsip untuk mendedikasikan hutan Papua bagi keselamatan Bumi dan umat manusia seluruh jagad.
Kesepakatan Bali
Kesepakatan ini memungkinkan putaran perundingan berikutnya dapat dilakukan, sehingga tahun 2009 diharapkan sudah muncul protokol perubahan iklim baru untuk menggantikan Protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012. Usul Indonesia agar dunia internasional bersedia memberikan kompensasi kepada Negara-negara yang memelihara hutan sebagai paru-paru dunia, akhirnya disepakati; sesuai dengan salah satu poin hasil kesepakatan Bali, “Harus ada insentif positif bagi Negara berkembang yang mengurangi penebangan hutan”.“Bali Roadmap” merupakan hasil kesepakatan para pejuang “Penyela-matan Bumi” dari konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) dalam upaya penyelamatan bumi. Ini merupakan jalan untuk semua Negara yang telah menyepakati untuk dapat menjalankan tugasnya dalam penye-lamatan planet bumi ini, dengan langkah-langkah mengurangi emisi CO2 penyebab kenaikan panas bumi – perubahan iklim – yang menyebab-kan bencana alam, kelaparan, kemiskinan dan bahkan musnahnya kehidupan dibumi jika tidak segera di realisasikan. (Astira)
Dirangkum dari berbagai sumber, oleh: Kusam
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP