(Alamku, Edisi 38 Desember 2007, www.cenderawasihpos.com)
LIMA abad yang lalu, Martin Luther dan kaum reformis sezamannya pernah mengutuk kebijakan gereja Katolik, dimana seorang bisa memperoleh pengampunan dosa atas dosa-dosanya dimasa lalu dengan membayar sejumlah uang. Praktik penghapusan dosa tersebut mungkin bisa menjadi analogi sekaligus simplikasi yang pas untuk menjelaskan rumitnya perdagangan karbon. Istilah yang mengaung beberapa tahun belakangan ini, demikian kata Firman Firdaus, dalam Nasional Geographic-(edisi Maret 2007).Setelah dua dekade, manusia baru menyadari bahwat dampak pema-nasan global sangat mempengaruhi keselamatan bumi sebagai satu-satunya planet yang masih layak dihuni. Dari publikasi ilmiah Arrhenius tahun 1897 di Philo-sophical Magazine and Journal of Sciene hingga lahirnya protokol Kyoto tahun 1997.Dari indikasi, bahwa peningkatan gas buang CO2 hasil konsumsi energy dan proses industry di pabrik meningkatkan pemanasan Bumi, hingga berulangnya banyak tragedi alam yang mengakibatkan kematian dan kerugian umat di bumi, kemudian disadari pentingnya keseimbangan antara pembangunan, pemenuhan kebutuhan hidup yang bergantung dari bumi dan keadaan ekosistemnya.
Faktor lingkungan dan kesejahteraan merupakan sumber friksi dan konflik antar berbagai kalangan; antar suku, antar bangsa dan antar negara. Konklik-konflik tersebut membuat kesejahteraan makin menurun kepada yang tertekan, akibatnya akan memiskinkan. Bahkan ditengarai di masa mendatang pemanasan global dan perubahan iklim akan menjadi sumber konflik baru yang mengancam perdamaian dunia. Dan ketidak damaian biasa berdampak makin menurunnya kemampuan ekonomi Negara dan rakyatnya, berarti dalam jangka panjang juga mengancam penduduk bumi yang miskin, jumlahnya akan semakin besar jika tidak secepatnya diantisipasi.Hal tersebut juga mengancam eksistensi kedaulatan banyak Negara menyangkut teritorial, ketahanan pangan dan kebutuhan energinya.
Protokol Kyoto yang lahir tahun 1997 menyepakati adanya enam senyawa gas rumah kaca (GRK) telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004. Menurut Konvensi Perubahan Iklim tahun 1990, Negara yang termasuk dalam daftar lampiran I dan lampiran B (Negara maju), berkewajiban mengurangi emisi GRK sampai tahun 2012 serta membantu Negara-negara penghasil Oksigen membiayai kegiatan yang akan menurunkan efek GRK. Kewajiban Negara penghasil emisi karbon terbesar berkewajiban memberikan kompensasi atau menebus dosa-dosanya dimasa lalu dalam upaya penyelamatan hutan melalui mekanisme pola clean development mechanism (CDM)Selain mekanisme CDM, maknisme fleksibel dalam rangka pencegahan dan mengurangi emisi karbon dunia adalah melalui kegiatan joint implementation (JI) dan emission trading (ET) yang juga dapat menarik dana Negara maju untuk berpartisipasi.
Hingga pertemuan para pihak di Bali, masih terjadi pro dan kontra dalam menangani isu pemanasan global dan perubahan iklim. Hasil COP 13 (Conference of Parties) di Bali belum merupakan keputusan final tentang status Protokol Kyoto (berakhir tahun 2012) dan fenomena pemanasan global. Tetapi paling tidak usaha keras para negosiator dan sebagai tuan rumah cukup berbesar hati dengan dihasilkannya Road Map Bali sebagai alat pelicin jalan menuju perundingan berikutnya pada COP 14 di Warsawa dan COP 15 di Copenhagen.Fenomena pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim seperti: naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Sebagai contoh telah mencairnya salju di Puncak Gunung Jayawijaya, terutama terjadi karena kegiatan aktivitas mansia, seperti: pemanfaatan bahan bakar minyak (fosil), kegiatan pertanian dan peternakan atau konversi lahan yang tidak terkendali.Yang lebih penting bagi Negara berkembang seperti Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kemam-puan dalam mengantisipasi terjadinya bencana dan upaya-upaya penang-gulangan bencana sebagai dampak dari perubahan iklim global.
Menurut Fitrian Ardiansyah dari WWF Indonesia,” sebagai salah satu Negara yang rentan akan perubahan iklim ekstrim, Indonesia perlu melakukan pengkajian dan pemetaan akan kerentanan dan adaptasi dari perubahan iklim , agar tercipta penangan yang efektif untuk permasalahan tersebut. Kebutuhan mendesak untuk mengarus utamakan strategi adaptasi bagi strategi pembangunan dan perencanaan pembangunan di sektor lokal maupun nasional. Menurutnya tanpa perencanaan ini Indonesia akan mengalami kegagalan dalam pembangunan yang diakibatkan oleh bencana lingkungan.
Secara regional, Papua dan Papua Barat ditambah Gubernur Aceh pada tanggal 27 April 2007 di Bali. telah mengantisipasi perubahan iklim dengan menanda tangani komitmen menjaga tutupan hutan yang masih tersisa dan melaksanakan REDD, yaitu program pengurangan emisi gas rumah kaca akibat deforetasi hutan untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan. Kemudian ditindak lanjuti oleh Pemerintah Provinsi Papu dan Papua Barat melakukan moratorium untuk pengiriman log keluar Papua melalui Kebijakan Gubernur.Walaupun agenda moratorium ini muncul akibat pengaruh dan desakan kesepakatan perubahan iklim dan perdagangan karbon di Nusa Dua Bali. Paradigma ini harus diletakkan dan didasari oleh kenyataan besarnya deforestasi hutan Papua dan penataan ulang sektor kehutanan dengan menyeimbangkan kapasitas produksi hulu dan hilir, sehingga ada atau tidaknya dana kompensasi dari Negara maju, pelarangan ekspor dan pengiriman antar pulau log dari Papua harus tetap dilaksanakan, karena tujuannya adalah untuk kesejah-teraan serta kurang lebih tiga juta rakya di Papua yang bagian terbesar masih miskin.
Perubahan iklim akibat pemanasan global, tetap harus dikritisi oleh seluruh masyarakat di Papua yang akan menanggung kewajiban dan mandat masyarakat dunia untuk mengantisipasi perubahan iklim dengan cara melestarikan dan menjaga hutannya, serta meminta keadilan dari Negara-negara maju, mereka yang berbuat Papua yang harus bertanggung jawab. (Kusam)
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP