(www.kompas.com, 02-01-2013)
JAKARTA, KOMPAS.com -- Dasar perhitungan untuk penetapan target penurunan emisi per bidang untuk memenuhi janji suka rela Indonesia mengurangai emisi Gas Rumah Kaca (GRK) kurang jelas dasarnya.
Dede Ratih dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mempertanyakan penetapan emisi tanpa intervensi atau business as usual yang menjadi dasar perhitungan target tiap bidang yang dilakukan lembaga dan kementerian sektor. Menurut Dedea, upaya penurunan GRK menjadi tidak jelas bakal tercapai atau tidak karena perhitungan emisi nasional jika tak ada intervensi (BAU) tidak jelas angkanya.
"Ada beberapa angka BAU dikeluarkan beberapa kali sejak tahun 2010. Menurut saya, perhitungan BAU itu pun mestinya dinamis berdasarkan aktivitas yang berkembang suatu waktu," kata Dede, Jumat (21/12/2012) di Jakarta.
Dia meragukan angka BAU yang ada. "Misalnya kehutanan dan lahan gambut sudah ada target. Artinya sudah harus diperhitungkan berapa luas hutan atau perubahan fungsi lahan yang bisa dilakukan. Berapa batasnya. Tampaknya kebijakan itu tak ada. Seharusnya pemerintah lebih transparan soal perhitungan BAU dan target-target penurunan GRK," katanya.
Dihitung dari target yang ditetapkan dalam RAN GRK, yaitu 0,767 Gigaton CO2 ekivalen (satuan emisi) didapatkan angka BAU sekitar 2,95 Gigaton CO2 ekivalen.
Tahun 2009 di Pittsburgh, AS, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan target penurunan 26 persen dari BAU jika dilakukan sendiri dan turun 41 persen dari BAU jika ada bantuan luar negeri.
Hari Kamis (20/12/2012) tujuh kementerian melaporkan kemajuan pelaksanaan inventarisasi dan penurunan emisi gas rumah kaca pada National Summit Perubahan Iklim ke-2. Secara umum, masalah koordinasi dengan lembaga dan kementerian lain serta dengan pemerintah daerah masih perlu ditingkatkan.
Hadir dalam acara tersebut tiga menteri yaitu Menteri Lingkungan Hidup Berth Kambuaya dan Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, Menteri Pertanian Suswono, serta Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun. Sementara ketiga menteri dari tiga kementerian lainnya diwakilkan kepada pejabat lainnya. Ketiga kementerian tersebut yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian Perhubungan. Koordinasi dan sinkronisasi
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Haryono, koordinasi pusat dan daerah memegang peran penting karena terkait dengan konversi lahan pertanian. Sementara dari sektor energi, menurut Sekjen Dewan Energi Nasional Lobo Balia, sinkronisasi kebijakan, peraturan, dan program untuk inventarisasi dan mitigasi GRK di bidang energi dan sumber daya mineral perlu terus ditingkatkan.
Kebijakan penggunaan energi baru dan terbarukan tak kunjung terwujud. Misalnya, bahan bakar gas itu terkendala infrastruktur stasiun pompa bahan bakar gas. "Pembangunan infrastruktur itu kewenangan pemerintah daerah, bukan Kementerian ESDM," ujarnya.
Pengembangan energi panas bumi, kendalanya antara lain regulasi daerah - harus ada izin usaha pertambangan (IUP) untuk melakukan eksplorasi. Di bidang pertanian, menurut Suswono, ke depan penyediaan lahan pertanian akan semakin sulit karena konversi lahan amat masif dilakukan pemerintah daerah karena ada otonomi daerah.
Saat ini luas lahan sawah Indonesia sekitar 13,1 juta hektar-bandingkan dengan luas lahan sawah Thailand-jumlah penduduknya seperempat Indonesia-yang luasnya 9 juta hektar.
Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Kementerian Perhubungan Wendy Aritenang menambahkan, kebijakan mengembangkan transportasi massal kota juga amat bergantung pada kebijakan masing-masing kota.
Target total penurunan emisi yaitu 0,767 Gigaton CO2 ekivalen, dengan bidang kehutanan dan gambut paling besar yaitu 0,672 Gigaton CO2 ekivalen dan dilaporkan sudah tercapai 0,489 Gigaton CO2 ekivalen.
Target bidang pertanian 0,008 Gigaton CO2 ekivalen, energi dan transportasi 0,038 Gigaton CO2 ekivalen, pengelolaan limbah 0,048 Gigaton CO2 ekivalen, bidang industri 0,001 Gigaton CO2 ekivalen.
Selain penurunan oleh sektor, juga ada target penurunan GRK oleh provinsi yang ditetapkan dalam Rencana Aksi Daerah (RAD). Target-target tersebut ditetapkan dari BAU yang besarnya sekitar 2,95 Gigaton CO2 ekivalen.
Dede mempertanyakan, apakah benar semua aktivitas sudah diperhitungkan. "Contoh gampang adalah kehutanan. Tidak semua izin pembukaan hutan yang ada di daerah itu diketahui oleh pemerintah pusat. Kalau berdasarkan satelit tetap harus ada klarifikasi di daerah," ujarnya.
JAKARTA, KOMPAS.com -- Dasar perhitungan untuk penetapan target penurunan emisi per bidang untuk memenuhi janji suka rela Indonesia mengurangai emisi Gas Rumah Kaca (GRK) kurang jelas dasarnya.
Dede Ratih dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mempertanyakan penetapan emisi tanpa intervensi atau business as usual yang menjadi dasar perhitungan target tiap bidang yang dilakukan lembaga dan kementerian sektor. Menurut Dedea, upaya penurunan GRK menjadi tidak jelas bakal tercapai atau tidak karena perhitungan emisi nasional jika tak ada intervensi (BAU) tidak jelas angkanya.
"Ada beberapa angka BAU dikeluarkan beberapa kali sejak tahun 2010. Menurut saya, perhitungan BAU itu pun mestinya dinamis berdasarkan aktivitas yang berkembang suatu waktu," kata Dede, Jumat (21/12/2012) di Jakarta.
Dia meragukan angka BAU yang ada. "Misalnya kehutanan dan lahan gambut sudah ada target. Artinya sudah harus diperhitungkan berapa luas hutan atau perubahan fungsi lahan yang bisa dilakukan. Berapa batasnya. Tampaknya kebijakan itu tak ada. Seharusnya pemerintah lebih transparan soal perhitungan BAU dan target-target penurunan GRK," katanya.
Dihitung dari target yang ditetapkan dalam RAN GRK, yaitu 0,767 Gigaton CO2 ekivalen (satuan emisi) didapatkan angka BAU sekitar 2,95 Gigaton CO2 ekivalen.
Tahun 2009 di Pittsburgh, AS, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan target penurunan 26 persen dari BAU jika dilakukan sendiri dan turun 41 persen dari BAU jika ada bantuan luar negeri.
Hari Kamis (20/12/2012) tujuh kementerian melaporkan kemajuan pelaksanaan inventarisasi dan penurunan emisi gas rumah kaca pada National Summit Perubahan Iklim ke-2. Secara umum, masalah koordinasi dengan lembaga dan kementerian lain serta dengan pemerintah daerah masih perlu ditingkatkan.
Hadir dalam acara tersebut tiga menteri yaitu Menteri Lingkungan Hidup Berth Kambuaya dan Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, Menteri Pertanian Suswono, serta Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun. Sementara ketiga menteri dari tiga kementerian lainnya diwakilkan kepada pejabat lainnya. Ketiga kementerian tersebut yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian Perhubungan. Koordinasi dan sinkronisasi
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Haryono, koordinasi pusat dan daerah memegang peran penting karena terkait dengan konversi lahan pertanian. Sementara dari sektor energi, menurut Sekjen Dewan Energi Nasional Lobo Balia, sinkronisasi kebijakan, peraturan, dan program untuk inventarisasi dan mitigasi GRK di bidang energi dan sumber daya mineral perlu terus ditingkatkan.
Kebijakan penggunaan energi baru dan terbarukan tak kunjung terwujud. Misalnya, bahan bakar gas itu terkendala infrastruktur stasiun pompa bahan bakar gas. "Pembangunan infrastruktur itu kewenangan pemerintah daerah, bukan Kementerian ESDM," ujarnya.
Pengembangan energi panas bumi, kendalanya antara lain regulasi daerah - harus ada izin usaha pertambangan (IUP) untuk melakukan eksplorasi. Di bidang pertanian, menurut Suswono, ke depan penyediaan lahan pertanian akan semakin sulit karena konversi lahan amat masif dilakukan pemerintah daerah karena ada otonomi daerah.
Saat ini luas lahan sawah Indonesia sekitar 13,1 juta hektar-bandingkan dengan luas lahan sawah Thailand-jumlah penduduknya seperempat Indonesia-yang luasnya 9 juta hektar.
Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Kementerian Perhubungan Wendy Aritenang menambahkan, kebijakan mengembangkan transportasi massal kota juga amat bergantung pada kebijakan masing-masing kota.
Target total penurunan emisi yaitu 0,767 Gigaton CO2 ekivalen, dengan bidang kehutanan dan gambut paling besar yaitu 0,672 Gigaton CO2 ekivalen dan dilaporkan sudah tercapai 0,489 Gigaton CO2 ekivalen.
Target bidang pertanian 0,008 Gigaton CO2 ekivalen, energi dan transportasi 0,038 Gigaton CO2 ekivalen, pengelolaan limbah 0,048 Gigaton CO2 ekivalen, bidang industri 0,001 Gigaton CO2 ekivalen.
Selain penurunan oleh sektor, juga ada target penurunan GRK oleh provinsi yang ditetapkan dalam Rencana Aksi Daerah (RAD). Target-target tersebut ditetapkan dari BAU yang besarnya sekitar 2,95 Gigaton CO2 ekivalen.
Dede mempertanyakan, apakah benar semua aktivitas sudah diperhitungkan. "Contoh gampang adalah kehutanan. Tidak semua izin pembukaan hutan yang ada di daerah itu diketahui oleh pemerintah pusat. Kalau berdasarkan satelit tetap harus ada klarifikasi di daerah," ujarnya.
Editor :Nasru Alam Aziz