(www.bintangpapua.com, 17-10-2012)
JAYAPURA - Ketua Dewan Adat Kabupaten Keerom (DAK) Hubertus Kwambre,SH, mengatakan, selama ini pemerintah tidak pernah mengakui adanya kepemilikan tanah/hutan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat, yang telah dimilikinyaa sejak turun temurun bahkan sebelum terbentuknya pemerintahan hukum formal atau sebelum Negara ini didirikan.
Hal itu, menurutnya bisa dilihat dalam pembuatan aturan perundangan maupun kebijakan pembangunan, yang tidak satupun klausul yang memihak kepada kepentingan masyarakat adat didalam pengelolaan hutan dan tanah adat itu sendiri.
Bukan itu saja pemerintah atas nama Negara secara tidak langsung mencaplok dan membagi-bagi hutan adat rakyat secara sepihak kepada pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH) tanpa koordinasi dengan masyarakat pemilik tanah dan hutan adat.
Contohnya, harga per meter kubik kayu ditentukan oleh gubernur secara sepihak, tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik Sumber Daya Alam (SDA) berupa hutan kayu.
Yang mana harga satuan kayu per kubik adalah Rp 50 ribu/meter kubik untuk kayu jenis merbau, dan Rp 10 ribu/kubik untuk jenis kayu rimba campuran. “Ini jelas bukan suatu keberpihakan terhadap kesejahteraan masyarakat adat itu sendiri, karena kebijakan pembangunan tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat, malah membuat investor semakin bertambah kaya, dan rakyat hidupnya begitu-begitu saja alias tidak sejahtera,” ujarnya kepada Bintang Papua, saat dihubungi via ponselnya, Minggu, (14/10).
Untuk itu, pihaknya mengusulkan kepada pemerintah, agar pertama, selamatkan hutan, yang disini harus betul-betul berpihak pada rakyat bukan berpihak pada investor dan kebijakan dan aturan yang salah.
Kedua, selamatkan manusia Papua bahwa kalau bisa kapal putih milik PT. Pelni supaya dibatasi wilayah pelayarannya, yang dalam hal ini hanya sampai di Sorong saja, karena sekarang ini orang Papua sudah sangat minoritas, sehingga dalam aktifitas kegiatan ekonominya selalu kalah dengan pihak yang bukan orang Papua.
“Orang Papua harus diberdayakan secara utuh dan menyeluruh bukan diberdayakan dengan setengah hati. Kalau masyarakat Papua sejahtera lahir dan batin, maka jelas konflik di Papua tidak ada sebagaimana yang diharapkan semua orang,” tandasnya. (nls/aj/lo2)
JAYAPURA - Ketua Dewan Adat Kabupaten Keerom (DAK) Hubertus Kwambre,SH, mengatakan, selama ini pemerintah tidak pernah mengakui adanya kepemilikan tanah/hutan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat, yang telah dimilikinyaa sejak turun temurun bahkan sebelum terbentuknya pemerintahan hukum formal atau sebelum Negara ini didirikan.
Hal itu, menurutnya bisa dilihat dalam pembuatan aturan perundangan maupun kebijakan pembangunan, yang tidak satupun klausul yang memihak kepada kepentingan masyarakat adat didalam pengelolaan hutan dan tanah adat itu sendiri.
Bukan itu saja pemerintah atas nama Negara secara tidak langsung mencaplok dan membagi-bagi hutan adat rakyat secara sepihak kepada pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH) tanpa koordinasi dengan masyarakat pemilik tanah dan hutan adat.
Contohnya, harga per meter kubik kayu ditentukan oleh gubernur secara sepihak, tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik Sumber Daya Alam (SDA) berupa hutan kayu.
Yang mana harga satuan kayu per kubik adalah Rp 50 ribu/meter kubik untuk kayu jenis merbau, dan Rp 10 ribu/kubik untuk jenis kayu rimba campuran. “Ini jelas bukan suatu keberpihakan terhadap kesejahteraan masyarakat adat itu sendiri, karena kebijakan pembangunan tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat, malah membuat investor semakin bertambah kaya, dan rakyat hidupnya begitu-begitu saja alias tidak sejahtera,” ujarnya kepada Bintang Papua, saat dihubungi via ponselnya, Minggu, (14/10).
Untuk itu, pihaknya mengusulkan kepada pemerintah, agar pertama, selamatkan hutan, yang disini harus betul-betul berpihak pada rakyat bukan berpihak pada investor dan kebijakan dan aturan yang salah.
Kedua, selamatkan manusia Papua bahwa kalau bisa kapal putih milik PT. Pelni supaya dibatasi wilayah pelayarannya, yang dalam hal ini hanya sampai di Sorong saja, karena sekarang ini orang Papua sudah sangat minoritas, sehingga dalam aktifitas kegiatan ekonominya selalu kalah dengan pihak yang bukan orang Papua.
“Orang Papua harus diberdayakan secara utuh dan menyeluruh bukan diberdayakan dengan setengah hati. Kalau masyarakat Papua sejahtera lahir dan batin, maka jelas konflik di Papua tidak ada sebagaimana yang diharapkan semua orang,” tandasnya. (nls/aj/lo2)