(www.bintangpapua.com, 12-01-2012)
ARSO—Investor asing mulai melirik wilayah Keerom untuk menanamkan investasinya, baik itu pada bidang pertanian, perkebunan, kehuatan, dan peternakan. Dan pada Selasa (10/1), Bupati Keerom, Yusuf Wally,SE,MM, langsung mengantarkan investor dari Jerman yang merupakan kali keduanya ke Distrik Senggi untuk melihat langsung lokasi yang akan menjadi wilayah untuk menanamkan sahamnya, khususnya pada bidang pengembangan ternak sapi.
Bupati Keerom, Yusuf Wally,SE,MM, mengatakan, kedatangan investor asing itu untuk melihat kondisi alam dan geografis Senggi, apakah cocok untuk investasi pengembangan ternak sapi ataukah tidak, dan ternyata sangatlah cocok untuk ternak sapi.
“Kedatangan investor ini merupakan kali keduanya, dan kedua kalinya ini mengirim tenaga ahlinya, untuk melihat keadaan tanah atau topografi secara keseluruhan wilayah Senggi,” ungkapnya saat ditemui disela-sela pertemuan dengan mnasyarakat adat Senggi di Balai Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kampung Senggi, Selasa, (10/1). Bupati menjelaskan, kelak nantinya akan ada sekitar 20 ribu ternak Sapi yang dibudidayakan di wilayah Senggi dan pasti mengalami peningkatan, apalagi direncanakan didirikan pabrik daging di Senggi. Tentunya ini sebuah hal yang menjanjikan bagi masyarakat di wilayah itu, karena selain di rekrut dalam kegiatan investor itu (menjadi tenaga kerja), yang berdampak pada peningkatan ekonominya. Namun kedepan Keerom akan menjadi daerah yang mensuplai kebutuhan daging sapi baik secara skala nasional maupun internasional.
Kata Bupati, soal infrastruktur jalan dan permasalahan keamanan, itu tanggungjawab pemerintah daerah untuk menyediakannya, sedangkan masalah keamanan, dijamin wilayah Keerom secara keseluruhan aman, sehingga segala investasi dipastikan tidak mengalami gangguan. Apalagi khusus masyarakat Senggi adalah masyarakat yang mencintai kedamaian,”ujarnya.
Pada dasarnya dalam setiap gerakan pembangunan, prinsipnya pemerintah itu sangat membutuhkan investor, karena kenyataannya anggaran pemerintah tidaklah cukup untuk membiayai segala kegiatan pembangunan, yang dalam hal ini persoalan yang dialami oleh masyarakat.
Oleh kerana itu, dirinya telah mengeluarkan kebijakan bahwa, apabila investor mau menanamkan modalnya di Keerom, sebaiknya investor bertemu dengan pemerintah distrik dan instansi teknis yang kaitannya dengan bidang usahanya itu, untuk dilihat wilayah mana yang cocok untuk melaksanakan kegiatan usahanya itu, yang tidak bertentangan dengan tata ruang wilayah yang ada, karena semua tata ruang wajib digunakan sesuai dengan fungsi dan ketentuan yang sudah diatur.
Selanjutnya, sebelum dirinya menandatangani persetujuan untuk menanamkan investasi itu, hendaknya antara investor dan masyarakat adat pemilik hak ulayat menyelesaikan apa yang menjadi hak masyarakat, seperti pemberian kompensasi dan keterlibatan masyarakat didalam perusahaan itu seperti apa, apakah berupa pemegang modal berupa tanah dan sebagainya, supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian harinya. Jika semua proses selesai, barulah bertemu dengan bupati,”jelasnya.
Menurutnya, dengan cara seperti itu, jelas masyarakat yang punya lahan itu tahu bahwa ini ada keinginan investor untuk masuk di lahan ini untuk berinvestasi. Dan sudah pasti suku-suku yang memiliki dapat diketahui dengan jelas, karena hal ini seringkali menyebabkan masalah didalam pemberian kompensasi bagi pemilik tanah adat.
“Dalam penanam modal investasi, tanah adat tidak boleh dibeli, melainkan menggunakan sistem kontrak. Misalnya, kontrak 30 tahun, maka apa yang bisa dibayarkan pengusaha sebagai rekonsisi/kompensasi atas pengusahaan lahan itu, tapi selebihinya masyarakat adat dilibatkan sebagai pemilik modal meski berupa lahan itu,” jelasnya.
Apabila masa kontrak sudah berakhir (30 tahun), lahan itu dikembalikan lagi kepada rakyat, namun jika investor mau memperpanjang usaha dan kontraknya, maka silakan berembuk lagi dengan masyarakat pemilik tanah adat tersebut.
“Kondisi ini, selama ini masyarakat tidak mengerti, sehingga masyarakat selalu dirugikan. Kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Investor harus menghitung bahwa aset masyarakat adat adalah sumber daya alam (SDA),” pungkasnya. (rhy/roy/lo2)
ARSO—Investor asing mulai melirik wilayah Keerom untuk menanamkan investasinya, baik itu pada bidang pertanian, perkebunan, kehuatan, dan peternakan. Dan pada Selasa (10/1), Bupati Keerom, Yusuf Wally,SE,MM, langsung mengantarkan investor dari Jerman yang merupakan kali keduanya ke Distrik Senggi untuk melihat langsung lokasi yang akan menjadi wilayah untuk menanamkan sahamnya, khususnya pada bidang pengembangan ternak sapi.
Bupati Keerom, Yusuf Wally,SE,MM, mengatakan, kedatangan investor asing itu untuk melihat kondisi alam dan geografis Senggi, apakah cocok untuk investasi pengembangan ternak sapi ataukah tidak, dan ternyata sangatlah cocok untuk ternak sapi.
“Kedatangan investor ini merupakan kali keduanya, dan kedua kalinya ini mengirim tenaga ahlinya, untuk melihat keadaan tanah atau topografi secara keseluruhan wilayah Senggi,” ungkapnya saat ditemui disela-sela pertemuan dengan mnasyarakat adat Senggi di Balai Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kampung Senggi, Selasa, (10/1). Bupati menjelaskan, kelak nantinya akan ada sekitar 20 ribu ternak Sapi yang dibudidayakan di wilayah Senggi dan pasti mengalami peningkatan, apalagi direncanakan didirikan pabrik daging di Senggi. Tentunya ini sebuah hal yang menjanjikan bagi masyarakat di wilayah itu, karena selain di rekrut dalam kegiatan investor itu (menjadi tenaga kerja), yang berdampak pada peningkatan ekonominya. Namun kedepan Keerom akan menjadi daerah yang mensuplai kebutuhan daging sapi baik secara skala nasional maupun internasional.
Kata Bupati, soal infrastruktur jalan dan permasalahan keamanan, itu tanggungjawab pemerintah daerah untuk menyediakannya, sedangkan masalah keamanan, dijamin wilayah Keerom secara keseluruhan aman, sehingga segala investasi dipastikan tidak mengalami gangguan. Apalagi khusus masyarakat Senggi adalah masyarakat yang mencintai kedamaian,”ujarnya.
Pada dasarnya dalam setiap gerakan pembangunan, prinsipnya pemerintah itu sangat membutuhkan investor, karena kenyataannya anggaran pemerintah tidaklah cukup untuk membiayai segala kegiatan pembangunan, yang dalam hal ini persoalan yang dialami oleh masyarakat.
Oleh kerana itu, dirinya telah mengeluarkan kebijakan bahwa, apabila investor mau menanamkan modalnya di Keerom, sebaiknya investor bertemu dengan pemerintah distrik dan instansi teknis yang kaitannya dengan bidang usahanya itu, untuk dilihat wilayah mana yang cocok untuk melaksanakan kegiatan usahanya itu, yang tidak bertentangan dengan tata ruang wilayah yang ada, karena semua tata ruang wajib digunakan sesuai dengan fungsi dan ketentuan yang sudah diatur.
Selanjutnya, sebelum dirinya menandatangani persetujuan untuk menanamkan investasi itu, hendaknya antara investor dan masyarakat adat pemilik hak ulayat menyelesaikan apa yang menjadi hak masyarakat, seperti pemberian kompensasi dan keterlibatan masyarakat didalam perusahaan itu seperti apa, apakah berupa pemegang modal berupa tanah dan sebagainya, supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian harinya. Jika semua proses selesai, barulah bertemu dengan bupati,”jelasnya.
Menurutnya, dengan cara seperti itu, jelas masyarakat yang punya lahan itu tahu bahwa ini ada keinginan investor untuk masuk di lahan ini untuk berinvestasi. Dan sudah pasti suku-suku yang memiliki dapat diketahui dengan jelas, karena hal ini seringkali menyebabkan masalah didalam pemberian kompensasi bagi pemilik tanah adat.
“Dalam penanam modal investasi, tanah adat tidak boleh dibeli, melainkan menggunakan sistem kontrak. Misalnya, kontrak 30 tahun, maka apa yang bisa dibayarkan pengusaha sebagai rekonsisi/kompensasi atas pengusahaan lahan itu, tapi selebihinya masyarakat adat dilibatkan sebagai pemilik modal meski berupa lahan itu,” jelasnya.
Apabila masa kontrak sudah berakhir (30 tahun), lahan itu dikembalikan lagi kepada rakyat, namun jika investor mau memperpanjang usaha dan kontraknya, maka silakan berembuk lagi dengan masyarakat pemilik tanah adat tersebut.
“Kondisi ini, selama ini masyarakat tidak mengerti, sehingga masyarakat selalu dirugikan. Kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Investor harus menghitung bahwa aset masyarakat adat adalah sumber daya alam (SDA),” pungkasnya. (rhy/roy/lo2)