( Cenderawasih Pos, Senin 17 Juli 2006 )
Seperti halnya di kota besar, umpukan sampah-sampah rumah tangga yang ada di tempat pembuangan akhir (TPA) Kampung Nafri nampaknya dijadikan sebagian orang sebagai tempat untuk mengantungkan hiduphya. ada 14 orang pemulung yang saat ini menjadikan TPA Kampung Nafri sebagai tempat mencari nafkah. Bagaimana penuturan mereka?
JASANA di TPA Kampung Nafri, Kamis yang lalu kelihatan cukup sibuk. Ada beberapa truk milik DKP (Dinas Kebersihan dan Pemakaman) yang sedang membongkar sampah rumah tangga.
Di tengah-tengah kesibukan buruh DKP yang ikut membuang sampah di truk itu menurunkan muatannya, terlihat sejumlah orang yang sedang menunggu sampah itu diturunkan dari mobil. Ada yang mendekati .truk dan ada juga yang menggunakan kayu untuk mencungkil tumpukan sampah yang menimbulkan bauh busuk tersebut. Mereka rupanya adalah pemulung yang sudah bertahun-tahun di TPA Kampung Nafri tersebut. Mereka biasanya mencari kaleng bekas, plastik ataupun besi tua.
Paulus S misalnya. Pria asal Flores ini mengaku setiap hari kadang mendapat 5-20 Kg kaleng bekas atau besi tua. Menurutnya, hasil yang didapatkan itu dijual per kilo Rp 700. Hasil pulungan yang diperoleh ini kadang dibeli langsung di tempat dan kadang juga mereka antar ke Hamadi atau Abepantai.
"Saya sudah lama di sini cari barang-barang bekas yang masih bisa diuangkan, lumayan kadang dapat sampai Rp 50 ribu. Tapi jadi pemulung ini pekerjaan yang paling susah karena baunya menyengat, untung karena kami sudah biasa,"ujarnya kepada Cenderawasih Pos sambil geleng-geleng kepala. Layaknya seperti buruh DKP, para pemulung ini nampaknya jam 05.00 subuh mereka ada yang sudah di lokasi TPA. Pasalnya truk sampah sudah ada yang masuk pada jam-jam seperti itu. Kadang pagi-pagi kami sudah ada di lokasi TPA, ya lumayan kalau satu mobil kalau lagi beruntung kadang kami dapat sekitar 10 -20 Kg kalau itu sendiri,"
La Odang (27).Pria yang tinggal di Abepantai ini, mengaku jadi pemulung karena awalnya ikut dengan beberapa orang temannnya. Saat baru pertama jadi pemulung mengaku tidak percaya saat melihat tumpukan sampah yang dipenuhi lalat dan ulat, namun mereka harus membongkarnya untuk mencari kaleng bekas atau plastik serta barang lainnya yang masih bisa dijual.
Belum lagi pada saat terik matahari, keringat yang bercucuran dari wajah para pemulung ini. Bayangkan kalau kami sudah keringat, tentu untuk mengusap badan yang basah sudah penuh dengan kotoran. Pada hal keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan resiko penyakit,"ujarnya.
Ditempat yang sama, La Ondi yang ditemui saat berteduh dibawa rerimbunan semak-semak cerita panjang lebar dengan dirinya sejak di TPA. Ia sebenarnya mengaku jadi pemulung di TPA memang cukup beresiko, namun hal itu sudah dianggap biasa dan yang dipikirkan adalah bagaimana bisa mengumpulkan bahan-bahan bekas itu sebanyak-banyaknya. "Memang cukup beresiko, tapi itu sudah tidak terpikir lagi. Kami memang sering sakit tapi kalau sudah ada di lokasi yang terpikir lagi adalah bagaimana supaya bisa mengumpulkan kaleng atau besi bekas sebanyak-banyaknya,"tukasnya.***
Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua
Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP