Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selamat Datang di Blog Info Konservasi Papua

Cari Informasi/Berita/Tulisan/Artikel di Blog IKP

IKLAN PROMO : VIRTUOSO ENTERTAIN " NUMBAY BAND ", info selengkapnya di www.ykpmpapua.org

IKLAN PROMO : VIRTUOSO ENTERTAIN " NUMBAY BAND ", info selengkapnya di www.ykpmpapua.org
Info Foto : 1) Virtuoso Entertain bersama Numbay Band saat melakukan penampilan bersama Artis Nasional Titi DJ. 2) Saat penampilan bersama Artis Diva Indonesia, Ruth Sahanaya. 3) Mengiringi artis Papua, Edo Kondologit dan Frans Sisir pada acara "Selamat Tinggal 2012, Selamat Datang 2013" kerjasama dengan Pemda Provinsi Papua di halaman Kantor Gubernur Provinsi Papua, Dok 2 Jayapura. 4) Melakukan perform band dengan Pianis Jazz Indonesia. 5) Personil Numbay Band melakukan penampilan di Taman Imbi, Kota Jayapura. Vitrtuoso Entertain menawarkan produk penyewaan alat musik, audio sound system dan Band Profesional kepada seluruh personal, pengusaha, instansi pemerintah,perusahaan swasta, toko, mal, kalangan akademisi, sekolah, para penggemar musik dan siapa saja yang khususnya berada di Kota Jayapura dan sekitarnya, serta umumnya di Tanah Papua. Vitrtuoso Entertain juga menawarkan bentuk kerjasama seperti mengisi Acara Hari Ulang Tahun baik pribadi maupun instansi, Acara Wisuda, Acara tertentu dari pihak sponsor, Mengiringi Artis dari tingkat Nasional sampai Lokal, Acara Kampanye dan Pilkada, serta Acara-Acara lainnya yang membutuhkan penampilan live, berbeda, profesional, tidak membosankan dan tentunya.... pasti hasilnya memuaskan........ INFO SELENGKAPNYA DI www.ykpmpapua.org

30 March 2010

Nasional : Berbak Berpotensi Lepaskan 20 Juta Ton Karbon

(www.kompas.com, 29-03-2010)
JAMBI, KOMPAS.com - Taman Nasional Berbak, Jambi, berpotensi mengeluarkan 20 juta ton karbon, apabila tidak segera memperoleh perlindungan kawasan. Untuk itu, Pemerintah Inggris mendanai 2,4 juta dollar AS untuk menjaga ekosistem Berbak dari kerusakan hutan.

Duta Besar Inggris Martin Hatfull mengatakan pihaknya berkomitmen mendukung upaya perlindungan Taman Nasional Berbak (TNB) dan sekitarnya, melalui proyek Reduced Emissions from Deforestation and Degradation .

"Kami akan ikut mendorong konservasi hutan dan satwa di dalamnya, serta memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar hutan," ujarnya, Sabtu (27/3/2010).

Program ini, lanjut Martin, akan dilaksanakan oleh lembaga konservasi satwa asal Inggris, Zoological Society of London (ZSL). Kegiatan konservasinya akan terus berlangsung hingga tahun 2012.

Koordinator ZSL Indonesia Tom Maddox mengatakan TNB merupakan hutan gambut yang menyimpan dan menyerap karbon lebih besar dibanding hutan alam biasa. Namun, hutan ini juga berpotensi mengeluarkan sangat banyak karbon apabila mengalami kerusakan, baik berupa pengeringan lahan maupun pembakaran hutan.

"Potensi karbon yang dapat dilepaskan Berbak sebanyak 20 juta ton," ujar Tom.

Melalui program ini, pihaknya akan mengembangkan kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam konservasi hutan. Pihaknya juga tengah mengukur volume karbon yang masih dapat diserap melalui pemulihan lahan gambut yang telah rusak.

Sejauh ini, sudah dua negara berminat mendanai program penyerapan karbon untuk hutan-hutan di Jambi. Sebelumnya, Pemerintah Australia bermaksud mengucurkan 30 juta dollar AS untuk program kemitraan mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan. Jambi dipilih menjadi proyek percontohan kerjasama ini, karena pemerintah daerah setempat dinilai memiliki inisiatif membangun tata ruang, serta mengembangkan hutan kemasyarakatan guna menjaga kelestarian hutan sebagai upaya penyerapan karbon. Provinsi ini juga memiliki empat taman nasional yang memiliki keanekaragaman hayati.

Akan tetapi, kesadaran pemerintah kabupaten untuk menekan deforestasi dan degradasi hutan, masih rendah. Mereka umumnya mau memperoleh hasilnya saja, tetapi tidak memahami aturan mainnya, ujar Budidaya, dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.

28 March 2010

Nasional : Bakteri Anaerob Serba Guna

(www.kompas.com, 27-03-2010)
KOMPAS.com — Masyarakat urban tidak jarang menjumpai persoalan kloset mampet. Penghuni apartemen menemui saluran pencuci piring tersumbat sisa-sisa makanan. Aroma tak sedap pun sering merebak dari saluran air kotor permukiman.

Jika penyebabnya adalah bahan-bahan organik, bakteri-bakteri pengurai bisa memperbaiki keadaan tersebut. Bakteri-bakteri pengurai dipilih dari jenis bakteri anaerob.

Bakteri anaerob merupakan jenis bakteri yang tidak membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Bakteri anaerob tumbuh tanpa terkontaminasi udara bebas. Salah satunya tumbuh di dalam kotoran hewan yang masih berada di dalam perut.

Ada dua cara untuk memperolehnya. Cara pertama, mengambil bakteri anaerob dari kotoran di dalam perut hewan yang disembelih. Cara kedua, mengambil kotoran dari dalam perut hewan ternak yang dipertahankan tetap hidup. Cara ini menggunakan teknologi medis dengan operasi fistula.

Operasi fistula untuk membuat saluran pengambilan kotoran hewan ternak dari dalam perut tanpa menyebabkan hewan itu mati. Secara ilmiah, terbukti kandungan bakteri anaerob paling banyak berada di rumen, yaitu bagian perut pertama pada hewan pemamah biak. Bagian ini terletak di antara kerongkongan dan perut jala.

"Kotoran yang mengandung bakteri anaerob dapat diambil setiap hari dari hewan yang dioperasi fistula," kata Suryadi, periset pada Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Minggu (21/3/2010) di Jakarta.

Batan sejak 2006 mengembangkan riset pemanfaatan bakteri anaerob yang diambil dari hewan ternak yang dioperasi fistula. Hewan sapi dan kerbau yang dipilih.

"Operasi fistula sudah dilakukan pada tiga sapi dan seekor kerbau. Pada uji coba pertama mengakibatkan seekor sapi mati," ujar Suryadi.

Hewan yang akan dioperasi fistula harus berusia di atas dua tahun. Setiap pagi dapat diambil kotoran melalui lubang operasi fistula di bagian samping atas perut sapi atau kerbau tersebut.

Pengambilan kotoran dalam bentuk cairan sekitar 120 mililiter, tetapi berisi jutaan bakteri anaerob yang siap dikembangbiakkan.

Selanjutnya, pembiakan bakteri bisa untuk berbagai tujuan, antara lain, untuk menghasilkan bahan peluruh bahan-bahan organik yang menimbulkan sumbatan-sumbatan pada kloset, wastafel, saluran cuci piring, dan sebagainya.

"Batan sendiri mengembangkan untuk campuran pakan ternak yang dikeringkan. Pakan ternak dengan kandungan bakteri anaerob (direkayasa dalam keadaan mati suri) akan membantu proses pencernaan ternak," kata Suryadi.

Bakteri anaerob yang sebelumnya direkayasa supaya mati suri itu akan kembali hidup ketika masuk ke dalam perut hewan bersamaan dengan bahan makanan yang dikonsumsi. Dengan imbuhan bakteri anaerob, proses pencernaan makanan menjadi lebih cepat.

Pembiakan bakteri
Suryadi selama ini juga mendampingi usaha skala kecil dan menengah untuk usaha produktif pembiakan bakteri anaerob. Salah satunya, Koperasi Serba Usaha Agro Makmur di Karanganyar, Jawa Tengah.

Soelaiman Budi Sunarto, selaku pendiri koperasi tersebut, menuturkan, proses membiakkan bakteri bisa dilakukan di tingkat petani dengan bahan baku pedesaan yang melimpah. Koperasinya membuatnya dengan produk yang diberi merek "BioJoos".

"Medianya bisa menggunakan sekam padi yang digiling atau umbi-umbian yang dijadikan tepung," kata Budi.

Menurut Budi, langkah pertama, yaitu mempersiapkan media tepung sekam padi atau umbi-umbian. Kotoran ternak yang sudah diambil lalu diperas. Air perasan itu mengandung biang bakteri. Air itu lalu dicampur dengan tepung sekam atau tepung umbi-umbian. "Namanya proses probiotik," ujarnya.

Proses itu harus seminimal mungkin terkontaminasi udara bebas agar kandungan bakteri aerob (bakteri yang membutuhkan oksigen) tidak tumbuh subur di media tersebut.

Media tepung sekam atau umbi-umbian yang sudah dicampuri biang bakteri kemudian diperam dalam wadah tertutup rapat. Lamanya diperam sampai dua minggu, tetapi setiap dua hari sekali harus diaduk-aduk selama beberapa menit.

Proses selesai setelah dua minggu diperam. Media tepung sekam atau umbi-umbian itu sudah mengandung bakteri anaerob yang mati suri dan siap digunakan.

"Kalau tidak akan digunakan langsung, sebaiknya dikemas ke dalam plastik yang tertutup rapat," kata Budi.

Penyimpanan produk disarankan pada suhu 30 derajat celsius dalam keadaan tertutup rapat sehingga bakteri anaerob tetap mati suri dan bisa bertahan sampai bertahun-tahun lamanya.

27 March 2010

Nasional : Maleo Terancam Punah


(www.kompas.com, 26-03-2010)
MANADO, KOMPAS.com — Sejumlah ahli satwa nasional menyatakan prihatin atas menurunnya populasi burung maleo 20 tahun terakhir. Mereka mendesak pemerintah mencegah kepunahan satwa langka itu.

Dalam konferensi internasional mengenai maleo di Tomohon, Sulawesi Utara, Rabu (24/3/2010), sejumlah ahli satwa menyatakan, perlindungan terhadap maleo adalah hal mendesak mengingat maraknya perburuan maleo oleh masyarakat.

John Tasirin, Ketua Kelompok Kerja Maleo di Sulawesi Utara, mengatakan, maleo tergolong satwa liar yang endemik (hanya hidup di suatu lokasi tertentu saja) di dataran Sulawesi, lebih khusus di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. "Perlu ada tindakan tegas kepada orang yang berburu maleo," ujar John.

Populasi maleo turun drastis dalam beberapa dekade terakhir dari sekitar 25.000 menjadi kurang dari 14.000 ekor. Aktivitas pengumpulan telur adalah penyebab utamanya dan ini mengakibatkan menghilangnya maleo dari sejumlah tempat di Sulawesi. Sekarang, maleo dikategorikan "terancam punah" (endangered).

Maleo hidup di hutan hujan tropis Sulawesi dan menimbun telurnya di tanah yang hangat atau di pantai yang terpapar panas matahari. Masyarakat lokal mengumpulkan telur untuk dikonsumsi, diperdagangkan, dan dijadikan cendera mata.

Daerah sebaran yang terbatas dan perilaku peneluran yang unik menjadikan maleo simbol satwa liar Sulawesi. Gambar dan kata maleo telah menghiasi prangko, kartu telepon, nama jalan, nama perusahaan, bahkan nama mobil nasional. Saat ini, maleo telah menjadi target wisata utama para pencinta satwa dan alam liar.

John mengatakan, ancaman kepunahan maleo didengungkan pertama kali pada 1949. Hal itu dilanjutkan dan dipertegas dalam program konservasi maleo pada 1978 di Panua (Gorontalo), di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Sulawesi Utara) tahun 1985, dan kemudian di Taman Nasional Lore Lindu (Sulawesi Tengah) 1990.

Tahun ini, Kelompok Kerja Maleo Indonesia berinisiatif melaksanakan Konferensi Internasional Maleo yang pertama untuk memberikan landasan pengelolaan konservasi maleo bagi lembaga swadaya masyarakat, badan pemerintah, dan masyarakat luas. Konferensi ini merupakan upaya diseminasi 25 tahun konservasi maleo di dunia. (zal)

21 March 2010

Manca Negara : Ada Udang Hidup di Kedalaman 180 Meter Es Antartika

(www.kompas.com,21-03-2010)
WASHINGTON, KOMPAS.com – Penemuan ini menantang anggapan umum tentang kemampuan bertahan dari organisme kompleks, yakni organisme yang lebih dari sekadar bakteri atau berbentuk sel tunggal saja.
Kalau ada udang bisa bermain-main di bawah lapisan es 180 meter, bagaimana di bulan Jupiter, Europa, yang tertutup es?

Para ilmuwan menemukan fauna dari keluarga udang-udangan dan juga ubur-ubur yang bertahan hidup di bawah lapisan tebal es di Antartika, yang mana tadinya disangka tak mungkin ada binatang yang bisa bertahan di tempat seperti itu.

Di bawah lapisan es setebal 600 kaki, atau kira-kira 180 meter, dan tanpa sinar matahari, tadinya para ilmuwan berasumsi hanya mikroba yang bisa bertahan hidup.

Betapa terkejutnya tim NASA ketika mereka menurunkan kamera untuk menelusuri perairan di bawah lapisan es Antartika. Seekor hewan seperti udang berenang mendekat lalu hinggap di kabel kamera. Para ilmuwan juga menemukan bekas tentakel yang diduga berasal dari sejenis ubur-ubur.

"Tadinya kami berasumsi tak ada (hewan) apa pun di bawah sana," kata ilmuwan NASA Robert Bindschadler, yang mempresentasikan temuan ini berikut rekaman videonya, Rabu (17/3/2010) di pertemuan Persatuan Geofisika Amerika.

Binatang itu panjangnya 3 inchi dan sempat disorot selama dua menit. "Persis udang yang biasa kita makan," kelakar Bindschadler. Tepatnya hewan ini adalah Lyssianasid amphipod, bukan udang, tapi ada hubungannya dengan keluarga udang-udangan.

Mengapa penemuan seekor udang ini penting? Karena ini menantang pemikiran kita tentang syarat minimum bagi organisme untuk bertahan hidup. Kalau ada udang bisa bermain-main di bawah lapisan es 180 meter, bagaimana di bulan Jupiter, Europa, yang tertutup es?

Pakar mikrobiologi Cynan Ellis-Evans dari badan survei Antartika UK juga ikut tercengang oleh penemuan ini. "Ini penemuan (hewan) pertama pada lingkungan di bawah lapisan es yang merupakan organisme kompleks."

Dia juga memaparkan bahwa sebelumnya pernah ditemukan hal serupa di daerah lapisan es yang mulai mencair, tapi belum pernah ada penemuan yang tepat di bawah lapisan es. Tapi dia juga menyatakan bahwa mungkin saja hewan itu telah berenang sangat jauh dan tersesat di sana, jadi daerah itu bukanlah habitat tetapnya.

Tapi Kim, salah seorang ilmuwan yang terlibat dalam penemuan itu meragukan dugaan 'hewan tersasar' itu. Lokasi penemuan itu lebih dari 19 km jauhnya dari lautan terbuka.

Bindschadler dan timnya hanya mengebor lubang berdiameter kira-kira 20 cm dan hanya mengamati perairan yang sangat kecil. Artinya, kemungkinannya sangat kecil bahwa ada dua organisme yang berenang sejauh itu lalu terperangkap di perairan sempit itu.

Memang para ilmuwan masih bingung apa sumber makanan hewan tersebut. Menurut Kim, kalau mikroba bisa memproduksi makanan sendiri dari bahan kimia di lautan, tapi hewan kompleks seperti amphipod itu tidak bisa.

Jadi, bagaimana cara hewan itu bertahan hidup?

13 March 2010

Nasional : Kisah Penelitian Kodok Bermata Biru

(www.kompas.com,13-03-2010)
KOMPAS.com - Mata Amir Hamidy berbinar saat melihat foto yang disodorkan sejawatnya Adiinggar Ul-Hasanah. Dalam foto itu tampak seekor kodok bermata biru. Peneliti Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), Puslit Biologi, LIPI itu yakin, jenis ini belum pernah dikenal sebelumnya.

Amir memang sedang studi master dengan topik taksonomi kodok genus Leptobrachium. Berbulan-bulan ia memeriksa dan mengkaji spesimen Leptobrachium yang tersimpan museum-museum di Malaysia, di Jepang, dan tentunya di Indonesia (MZB). Kegiatannya sehari-hari mengukur dan membandingkan secara detail semua karakter morfologi semua specimen tersebut.

"Salah satu spesimen yang saya periksa memiliki karakter yang unik, dan berbeda dengan Leptobrachium lainnya dari Sumatra, yakni L. hasseltii, L. nigrops dan L. hendriksoni, yaitu tidak memiliki pola warna pada bagian atas tubuh dan sekitar posterior pahanya," tulis Amir dalam surat elektronik pada Kompas.com.

Namun saat itu ia masih dipenuhi rasa ingin tahu karena belum melihat mata sang kodok. Maklum warna mata dari spesimen tersebut belum diketahui, karena warna mata akan luntur pada spesimen yang telah terawetkan. Maka ketika ia disodori foto yang memperlihatkan mata biru muda sang kodok pada seluruh iris, hatinya pun girang.

"Biasanya warna iris mata genus Leptobrachium adalah hitam (untuk semua spesies Borneo), atau setengah bagian atasnya berwarna muda, bisa kuning/orange (L. hendricksoni, L. smithi) atau putih/biru muda (semua spesies di China dan Indochina). Lha... jenis baru ini memiliki warna iris biru muda pada seluruh iris matanya baik atas maupun bawah," tutur Amir yang saat ini berada di Jepang untuk mengambil master terkait dengan temuan kodoknya.

Warna iris mata di genus Leptobrachium merupakan karakter penting untuk membedakan jenis. Setidaknya dua jenis baru yang ditemukan akhir-akhir ini (tahun 2004 dan 2006), dari Kamboja dan Laos juga berdasarkan perbedaan warna iris mata. Oleh karena warna iris mata Leptobrachium dari daerah Way Sepunti ini lain dari jenis-jenis yang telah terdeskripsi maka ia diyakini sebagai jenis baru.

Adapun kodok itu dijumpai pertama kali oleh Adiinggar Ul-Hasanah dan Wempi Endarwin dari Tim Wildlife Conservation Society pada tahun 2004. Saat itu mereka baru mengetahui genusnya. Penelitian Amir sejak tahun 2008 terhadap jenis inilah yang mengungkap kemungkinan bahwa kodok ini adalah jenis yang belum diketahui sebelumnya.

Ketertarikan Amir kemudian membawanya ke Sumatra untuk mencari contoh hidup dari kodok mata biru tersebut. Ia berangkat pada Februari 2009, dibantu dua herpetologiawan muda Sasi Kirono dan Dwi Susanto, Tim WCS, Firdaus dan Marji, serta ranger di resort Kubu Perahu TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan). Tim yang mengadakan survei singkat di jalur Way Sepunti, menjumpai dua ekor kodok. Kemudian Amir mengkaji kodok tersebut lebih jauh termasuk mendeskripsikannya.

Menurut kajian taksonomi yang dilakukan Amir bersama pembimbingnya Profesor Masafumi Matsui, dengan membandingkan kodok ini dengan jenis lain (dalam genus Leptobrachium) dari Thailand, Malaysia serta beberapa wilayah lain di Indonesia (Sumatra, Belitung, Kalimantan dan Jawa), kodok ini adalah jenis baru.

Ia pun menuliskan thesisnya mengenai kodok yang kemudian diberi nama Leptobrachium waysepuntiense - mengacu pada nama sungai kecil di dekat lokasi ditemukannya jenis ini yaitu Sungai Way Sepunti, desa Kubu Perahu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Menurutnya genus Leptobrachium sebenarnya terdistribusi luas dari China, Indochina sampai ke Sundaland (Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sumatra, Jawa) dan Philippina (selatan). Saat ini sudah ada sekitar 21 spesies yang telah terdiskripsi. Di Indonesia sendiri sudah ada 5 jenis, sehingga dengan ditemukannya jenis baru ini menjadi 6 jenis.

05 March 2010

Nasional : Kodok Bermata Biru Ditemukan di Sumatera

(www.kompas.com,12-03-2010)
JAKARTA, KOMPAS.com — Spesies katak yang belum pernah diketahui sebelumnya ditemukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatera. Spesies yang termasuk dalam genus Leptobrachium ini unik karena memiliki warna iris mata biru muda, baik di bagian atas maupun bawah.

Kodok jenis baru ini dijumpai oleh Adiinggar Ul-Hasanah dan Wempi Endarwin dari Tim Wildlife Conservation Society tahun 2004, tetapi saat itu masih diidentifikasi sampai tahap genus saja, dan belum diketahui jenisnya. Penelitian lebih lanjut dilakukan tahun 2008 oleh Amir Hamidy, staf Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), Puslit Biologi, LIPI.

Amir yang saat itu mengambil studi master dengan topik taksonomi genus Leptobrachium memeriksa dan mengkaji spesimen kodok yang tersimpan di museum-museum di Malaysia, di Jepang, dan tentunya di Indonesia (MZB). "Saya mengukur dan membandingkan secara detail semua karakter morfologi satu demi satu dari semua spesimen tersebut, termasuk semua spesimen disimpan di MZB-LIPI," ujarnya.

"Salah satu spesimen yang saya periksa memiliki karakter yang unik dan berbeda dengan Leptobrachium lainnya dari Sumatera, yaitu tidak memiliki pola warna pada bagian atas tubuh dan sekitar posterior pahanya. Tentu saja warna mata dari spesimen tersebut belum diketahui karena warna mata akan luntur pada spesimen yang telah terawetkan," lanjutnya.

Amir baru melihat warna mata kodok itu setelah Adiinggar Ul-Hasanah menunjukkan foto hidup spesimen tersebut. Berdasarkan informasi itu, Amir mengadakan survei singkat di jalur Way Sepunti. "Di situ kami menjumpai dua ekor. Kemudian saya mengkaji kodok tersebut lebih jauh, termasuk mendeskripsikannya," ujar Amir dalam surat elektronik kepada Kompas.com.

Warna iris mata di genus Leptobrachium merupakan karakter penting untuk membedakan jenis. Setidaknya dua jenis baru yang ditemukan akhir-akhir ini (tahun 2004 dan 2006) dari Kamboja dan Laos juga berdasarkan perbedaan warna iris mata.

Menurut kajian taksonomi yang dilakukan, yakni dengan membandingkan kodok ini dengan jenis lain (dalam genus Leptobrachium) dari Thailand, Malaysia serta beberapa wilayah lain di Indonesia (Sumatera, Belitung, Kalimantan, dan Jawa), Amir meyakini kodok ini adalah jenis baru.

"Kodok ini jenis baru yang merupakan spesies dari kelompok kodok seresah yang termasuk dalam genus Leptobrachium. Untuk nama spesies, saya beri nama waysepuntiense, jadi nama lengkapnya Leptobrachium waysepuntiense," kata Amir. Nama spesies ini mengacu pada nama sungai kecil di dekat lokasi ditemukannya, yaitu Sungai Way Sepunti, Desa Kubu Perahu, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

03 March 2010

Nasional : Copenhagen Accord Kurang Efektif

(www.kompas.com,03-03-2010)
BANDUNG, KOMPAS.com — Kesepakatan Copenhagen Accord (CA) dianggap kurang efektif karena sifatnya tidak mengikat. Negara-negara yang terlibat dalam kesepakatan itu hanya melakukan take note (mencatat). Jika ingin mengikat, kesepakatan itu berbentuk legal binding.

Kepala Badan Pengembangan dan Pengkajian Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Artauli RMP Tobing di Bandung, Jumat (2/4/2010), mengatakan, CA merupakan hasil Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait perubahan iklim ke-15 atau COP 15. Konferensi itu diselenggarakan pada 7-19 Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark.

Kesepakatan CA yang dilakukan dengan take note membuat pemberlakuannya tak menerapkan sanksi. Status yang tak mengikat akan membawa implikasi-implikasi tertentu bagi upaya global dalam menangani dampak perubahan iklim. Terlepas adanya kekurangan dalam proses perumusan CA, Indonesia menyambut baik kesepakatan itu. Pihak COP 15 telah menghasilkan beberapa langkah maju.

Penetapan pembatasan peningkatan suhu global 2 derajat celsius dan komitmen negara maju untuk menyediakan pendanaan sebesar 30 miliar dollar AS pada tahun 2010-2012 merupakan beberapa langkah maju tersebut. Selain itu, usulan Indonesla tentang peranan pengelolaan hutan dalam upaya penanganan dampak perubahan iklim juga diadopsi COP 15.

Indonesia termasuk negara yang mengasosiasikan diri pada kesepakatan tersebut. Pemerintah Indonesia telah menyerahkan National Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) yang berisi upaya-upaya dalam mitigasi perubahan iklim secara nasional.

Secara proaktif, Indonesia telah menyampaikan komitmen untuk menurunkan emisi secara sukarela sebesar 26 persen pada tahun 2010 atau mencapai 41 persen sekiranya diperoleh bantuan pendaan dari luar negeri. Komitmen tersebut mendapatkan apresiasi dan dukungan banyak pihak yang tecermin dari berbagai komitmen bantuan pihak bilateral, seperti Inggris, Jerman, Italia, dan Jepang.
Editor: acandra